Studi Syarah Shahih Muslim


Pada masa Rasulullah saw. sekitar abad satu hijriyah yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada masa ini Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan atau menyebarkan hadis-hadisnya. Dari hadis-hadis Rasulullah di atas dapat dipahami, bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan agar para sahabat menghafal dan menyebarkan hadis-hadis Rasul dan ayat-ayat al-Qur’an, singkatnya, menyebarkan ajaran Islam.[1]
 
Kajian hadis sudah di mulai berbad-abad yang lalu, dari masa Sahabat, Tabi’in dan ulama-ulama penerusnya, dengan berkembangnya zaman, maka kajian hadis berkembang pesat dari mulai kodifikasi hadis (tadwin al-hadis) sampai ilmu-ilmu baru seperti ma’aanil hadis dan berbagai macam studi kritis hadis. Diantara perkembangan ilmu hadis yaitu pensyarahan hadis (Syarh al-Hadis) yang dilakukan oleh mayoritas ulama abad-abad pertengahan, salah satunya adalah kitab al-Minhaj atau yang lebih dikenal dengan Syarah Shahih Muslim karya Abu Zakariya Yahya al-Nawawi (Imam Nawawi).
Syarah hadis bertujuan untuk menjelaskan makna-makna yang diinginkan, baik secara makna mufrodat (makna-makna yang gharib) maupun secara murod yang dinginkan hadis- hadis tersebut, karena adanya sifat hadis yang kebanyakan secara makna masih mujmal, walaupun fungsi hadis salah satunya sebagai penjelas al- Qur’an, namun banyak makna- makna atau hadis-hadis yang secara lafdzi atau dzahir yang terlihat bertentangan, oleh karena itu timbulah insiatif oleh para ulama untuk menyusun kitab-kitab Syarah hadis sebagai pengurai kemuskilan hadis-hadis yang telah dikodifikasikan oleh para ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, saya sebagai pemakalah akan mencoba membahas salah satu kitab syarah tersebut, yaitu; Al- Minhaj Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi. Dan dengan ini, semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang kitab tersebut, baik tentang muallif (pengarang) maupun isi yang terkandung didalam kitab tersebut, seomga makalah ini dapat bermanfat, walaupun masih banyak kekurangan dan keselahan. Amin ya Rabi Rabbal al- ‘Alamin Wayaa Mujib al- Saiilin.


PEMBAHASAN
A.    Biografi Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
1.      Kelahiran  Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
Beliau ialah Imam al Hafidz Syaihul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murriy al Hizamy al Hawariby as-Syafi’i.[2] Beliau di lahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di desa Nawa, sebuaah perkampungan di Hauran di Suriah. Oleh karena itu namanya di nisbatkan pada desa teserbut menjadi an Nawawi.[3]
Keluarga al-Nawawi adalah tergolong keluarga yang cukup terpandang, dan termasuk orang pertama yang bermukim di kota Nawa, kalau dikaitkan dengan para leluhurnya. Kota Nawa tempat lahirnya sang imam merupakan pabrik ulama-ulama ahli fiqh bermadzhab al- Syafi’i, dengan terkenalnya ulama-ulama fiqh produk kota Nawa maka ada ungkapan yang mengatakan: Kota Nawa akan selalu menjadi buwah bibir dan abadi namanya dilisan ribuan orang dengan ulama-ulama fiqh Madzhab Syafi’i.[4]
Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.[5]
Pada tahun 649 H, al-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
2.      Guru Dan Murid
Kehebatan Imam Nawawi dalam berbagai bidang disiplin ilmu tak lain adalah buah kecerdasan, ketekunan imam Nawawi. Akan tetapi tak kalah pentingnya adalah peran kedua orang tua dan guru-guru al-Nawawi yang telah mendorong dan memupuk jati diri Imam Nawawi sehingga menjadi ulama yang hebat, diantara guru-guru Imam Nawawi adalah sebagai berikut:
Guru- guru dalam bidang fiqh: Abu Ishaq al-Maghribi al-Maqdisi, Abu Muhamad Abdu al-Rahaman ibn Nuh Ibn Muhamad Ibn Ibrahim Ibn Musa al-Maqdisi, Abu Hafsin Umar ibn As’ad Ibn Abi Ghalib al-Irbili, Abu al- Hasan Salar Ibn Hasan al-Irbili al-Halabi al-Damasqi, Ahmad Ibn Utsaman al-Maghribi al-Dimasqi.
Guru-guru dalam bidang hadis: Zainudin Abu al-Baqa Khalid Ibn Yusuf Ibn Sa’ad, Rida Ibn al-Burhan, Abd al-Aziz Ibn Muhamad Ibn Abd al-Muhsin al-Ansari al-Hamawi al- Syafi’i, Zainudin Abu al-Abas Ibn Abd al-Daim al-Maqdisi, Abu al-Farj Abdu al-Rahaman Ibn Abu Umar Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Qodamah al-Maqdisi, Qadi al-Qadzah ‘Ima al-Din Abu Fadail Khatib Damasqi, Taqiyudin Abu Muhamad Isma’il Ibn Abi Ishaq Ibrahim Ibn Abi al-Yasar  al-Tanukhi[6], Jamal al-Din Abu Zakariya Ibn Abi Fath al-Sairafi al-Harani.
Guru-guru dalam bidang Nahwu dan Sorof: Ahmad Salim al-Misri (Islah al-Mantiq Karya Ibn al-Sakit, Kitab membahas ilmu morfologi), Alfiyah Ibn Malik (Imam Malik al-Andalusi). Kemudian Guru-guru Dalam Bidang Usul Fiqh ialah Al-Qadzi Abu al-Fath Umar Ibn Bandzar Ibn Umar Ibn Ali Ibn Muhamad al-Taflisi al-Syafi’i.
Murid-murid Imam Nawawi terbagi menjadi dua macam. Pertama, Murid dengan metode Talaqqi,[7] para murid Nawawi yang mengunakan sistem talaqqi  ini antaralain adalah: Sihab al-Din  Abu Hafsin Umar Ibn Katsir (Ibn Katsir), Sihab al-Din al-Irbadi, Samsu al-Din al-Baitar, Syeh Jibril al-Kurdi, Sihab Muhamad Ibn Abdu al-Khaliq Ibn Usaman al-Ansari al- Dimasqi, Abu Abas Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Mus’ab, Muhamad Ibn Ibrahim Ibn Sa’dullah Ibn Jama’ah, Abdullah Ibn  Muhamad Ibn Ali, Al-Qadi Diya’ al-Din Ali Ibn Muslim, Abdu al-Rahim Ibn Muhammad Ibn Yusuf al-Samhudi al-Khatib al-Adib, Al-Qadi Jamaludin sulaiman Ibn Umar Ibn Salim al-Zar’i, Al-Qadi Sadru al-Din Sulaiman Ibn Hilal al-‘Askari.[8] Kedua, Murid dengan metode Ijazah,[9] Murid- murid dengan sistem Ijazah sebagai berikut:  Abu Nu’im Ahmad Ibn al-Taqi, Al-Saif Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibrahim Ibn Haidar Ibn al-Qamah, Nasr al-Din Muhammad Ibn Kasatahdi, Jamaludin Ibn al-‘Aththar.
3.      Pengalaman Intelektual Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.  Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusannya di Dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil Hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi al-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tashhihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’ , ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’ , ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.
Ketiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan- nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.[10]
4.      Karya-Karya Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
Selain sebagai seorang mufti dan guru yang ulet, Imam al-Nawawi juga seorang ulama yang cukup produktif dalam berbagai kajian bidang ilmu, dengan kegiatan menulis yang begitu tekun samapai suatu hari Imam al-Nawawi tanganya merasa lelah. Dalam bidang tulis menulis, karya Imam al-Nawawi dibagi menjadi tiga bagian: Meringkas dan menyempurnakan, karya yang belum selesai tapi beliau wafat, karya yang beliau hapus, dan diantara karya Imam al-Nawawi yang sampai kepada kita sebagai berikut:
1.      Al-Minhaj Syarah Shahih muslim, kitab ini merupakan syarah dan berisi tentang penjelasan tentang hadis- hadis didalam Shahih Muslim.
2.      Al-Irsad, kitab ini adalah ringkasan dari kitab Ulum al-Hadis karya Ibn Al-Shalah, yang terkenal dengan muqodimah Ibn Shalah.
3.      Al- Taqrib Fi Usul al-Hadis, kitab ini adalah ringkasan dari kitab al- Irsad mukhtasar Muqodimah Ibn al- Shalah, kemudian kitab kitab ini diberi syarah oleh Imam Jalal al-Suyuti dengan nama, Tadrib al-Rawi.
4.      Tahdib al-Asma’ Wa al-Lughat, kitab ini membahas seputar  bahasa yang berda didalam kitab fiqh  al-Syafi’I, khususnya kitab Al-Tanbih dan Al-Muhadzab karya al-Sairazi, Raudah al-Talibin, karya Al-Nawawi, Al-Wasit dan Al-Wajiz karya, Abu Hamid al-Ghazali, Muhtasar al-Muzani, ringkasan kitab Al-Um al-Sayfi’i. kitab tersebut berjumlah 4-5 jilid dan belum selesai Imam Nawawi wafat, dan akahirnya diselesaikan muridnya Al-Hafidz al-Mizi.
5.      Al- Manasik al-Kubra al-Sughra, kitab ini mengupas lengkap masalah haji, baik dari rukun, wajib sunahnya haji.
6.      Al- Tibyan fi Hamlah al-Qur’an, kitab ini membahas adab membaca, hafalan memegang dll. Didalam kitab ini beliau juga banyak mencantumkan riwayat-riwayat Shahih.
7.      Minhaj al-Talibin, kitab ini adalah ringkasan karya Imam al-Rafi’I yang berjudul Al- Muharar , kitab ini belum selesai Imam Nawawi wafat.
8.      Raudah al-Talibin, kitab fiqh safi’i yang koperehensif, Imam Nawawi sempat membuat ringkasan kitab tersebut, akan tetapi tidak selesai dikarenakan beliau wafat terlebih dahulu.
9.      Al- Majmu’ Syarah al-Muhadzab, kitab ini adalah penjelasan dari kitab Muhadzab karya al- Sairazi kitab yang  koperehensif, Imam al-Hafidz Ibn Katsir mengatakan bahwa kitab al-Majmu’ dituangkan dengan bahasa yang mudah, mengupas permasalahan yang muskil, akan tetapi karya fenomenal ini tidak sampai selesai, Imam Nawawi wafat.
10.  Riyad al-Shalihin, kitab ini memuat hadis-hadis seputar targhib dan tahdzib yang diambil dari berbagai kitab hadis, khususnya  Kutub al- Sitah.
11.  Hilyat al-Abrar Wa Sa’airu al- Akhyar fi Talkhis al- Da’wat Wa al-Adzkar, kitab ini memuat doa-doa dan dzikir, yang dinukil dari hadis, kitab ini lebih popular dengan Al-Adzkar al-Nawawi.
12.   Manaqib al-Syafi’I, kitab ini adalah karya Imam Al-Baihaqi asalnya dua jilid, kemudian diringkas oleh Imam al-Nawawi menjadi satu jilid.
13.  Al- Arba’un al-Nawawiyah, kitab yang memuat 40 hadis penting.

B.     Latar Belakang Penulisan Kitab
Sebelum penulis membahas lebih lanjut tentang Syarah Shahih Muslim, Penulis akan lebih dahulu menjelaskan sedikit alasan mengapa Imam al-Nawawi memberikan Syarah kepada karya Imam Muslim. Beliau mengatakan didalam muqodimah Syarah Shahih  Muslimnya, bahwa kitab yang paling baik di dalam bidang hadis adalah Shahih Bukhari dan Muslim, bahkan tidak ada karya hadis yang mampu menyaingi kedua kitab ini. Akan tetapi beliau lebih memilih Shahih Muslim, dikarenakan menurut beliau jika kitab Bukhari sudah banyak yang memberikan Syarah, selain itu Nawawi mengatakan bahwa kitab ini adalah kitab yang Mutawasit (sedang) dan beliau banyak meringkas penjelasan-penjelasan dari beberapa aspek keilmuan secara ringkas dan jelas.
Imam al-Nawawi dalam mengarang kitab ini juga dengan penuh pertimbangan. Beliau ingin menjelaskannya secara ringkas, padat dan jelas, sehingga pejelasan tersebut tidak sampai menjemukan bagi orang yang membacanya. Namun dalam pembahasannya, imam al-Nawawi juga berusaha menjelaskannya secara jelas dan rinci agar mudah untuk di fahami tentang apa yang di dalamnya serta apa yang diharapkan. Bahkan iamam al-Nawawi juga mengatakan andaikan saya memanjangkan pembahasan kitab tersebut pastilah akan berjumlah kurang lebih 100 jilid tanpa pengulangan dan penjelasan yang tidak terlalu penting.[11]
C.     Isi Dan Sistematika Penyusunan Kitab
Dalam pembahasan atau penulisan isi kitab hadis, Imam al-Nawawi mengikuti Imam Muslim, yakni beliau memulainya dari bab Iman dan seterusnya sampai diakhiri dengan kitab tafsir, dari semua kitab syarah shahih Muslim yang pernah penulis buka sistematika isinya sama, Imam al-Nawawi menyebutkan hadis-hadis terlebih dahulu baru kemudian memberikan penjelasan.
Sedangkan dalam sistematika penyusunan kitabnya, Imam al-Nawawi pada juz yang pertama berisi muqodimah muhaqiq, Imam al-Nawawi dan muqodimah Imam Muslim, serta sedikit fasal dari kitab Iman, kitab ini yang dicetak Dar al-Hadis Kairo yang berjumlah 9 juz. Sedangkan cetakan yang lain ada yang berjumlah 19 juz yang dicetak oleh Dar al- Fikr Beirut Libanon, dan ada pula yang berjumlah 18 juz yang ada dalam PDF yang saya punya.
Pada muqodimah Syarih berisi berbagai hal tentang ilmu hadis, yang dibagi dalam bentuk fasal, bab dan far’ dalam pembahasannya. Fasal- fasal tersebut membahas banyak hal seputar ilmu hadis, diantaranya: Jalur sanad Imam Nawawi dalam periwayatan Shahih Muslim, kitab-kitab yang mentakhrij hadis dari Shahih Muslim, kemasyhuran kitab Sahih Muslim, perbedaan antara akhbaranaa dan haddatsanaa, dll.
Kemudian pada halaman selanjutnya sebelum bab al-Iman, Imam al-Nawawi menjelaskan muqodimah yang disampaikan Imam Muslim, yang tecantum dalam sub besar yaitu: Bab Wajub al-Tsiqat, pada bab ini menjelaskan nama-nama rawi baik kunyah laqob dll. Kemudian baru setelah itu mulailah pembhasan pensyarahan hadis yang di mulai dari kitab iman dan seterusnya hingga sampai kitab tafsir.
Cara penjelasan yang di lakukan oleh imam al-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim runtut dah mudah difahami, dikarenakan Imam Nawawi dalam menjelaskan hadis-hadis yang tercantum dalam shahih Muslim dengan berbagai aspek keilmuan, seperti riwayat dari kitab lain, ilmu bahasa, penjelasan nama yang mubham dan cabang keilmuan yang lainya.
Sedangkan dalam penukilan pendapat para ulama, Imam al-Nawawi sering tidak mencantumkan kitab yang dinukil, hanya mengatakan qola Malik, qola Syafi’i. Akan tetapi hal ini tidak semuanya ada beberapa kitab yang pendapatnya diambil dan dicantumkan seperti kitab Su’bu al-Iman, al-Minhaj, Syarah al-Muhadzab. Hal ini dilakukannya berdasarkan jika ucapan-ucapan yang dinukilnya tersebut sudah masyhur, maka beliau tidak lagi menyebutkan dari mana beliau menukilnya, kecuali dalam beberapa hal yang dirasa penting untuk menyebutkan sumbernya.[12]
D.    Metode Penyusunan Kitab
Dalam sebuah karya tulis baik berupa kitab maupun buku pastilah mereka menyusunnya dengan cara penyusunan dan dengan menggunakan metode, hal ini bisa saja di lakukan dengan berbagai macam cara tergantung oleh sang penyusun tersebut. Kaitannya dengan kitab ini yakni Al-Minhaj Syrah Sahih Muslim, al-Nawawi juga menggunakannnya, walupun beliau tidak secara langsung menjelaskan metode apa yang di gunakannya dalam menyusun kitab tersebut.
Dengan analisis yang telah di lakukan oleh penulis, dengan cara mengamati bagaimana al-Nawawi mensyarahi kitab tersebut, yang mana telah al-Nawawi sebutkan dalam muqoddimahnya bahwa beliau dalam menjelaskan hadis-hadis tersebut akan melakukan berbagai hal, diantaranya ialah; menyebutkan penjelasan tentang makna lafadz, nama personal yang memiliki kuniyah (nama panggilan), nama orang tuanya, nama-nam yang masih samar statusnya dan kondisi para periwayat yang belum begitu jelas. Kemudian beliau juga menyebutkan penjelasan tentang berbagai kandungan ilmu hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf (dua nama yang lafadznya sama namun cara pernonsasinya berbeda) dan cara mengkompromikan beberapa hadis yang redaksi luarnya terlihat bertentangan, karena biasanya bagi orang-orang yang tidak begitu teliti dalam bidang hadis, fikih dan ushul, akan mengira bahwa hadis yang secara lahiriyah bertentangan benar-benar mengalami kontradiksi.[13]
Dari paparan al-Nawawi dalam muqoddimahnya tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa al-Nawawi dalam menyusun kitabnya ini menggunakan metode tahlili, yakni beliau akan menjelaskannya secara detail dan mendalam dari segi sanad dan matan hadis tersebut. Walaupun demikian, tidak semua penjelasan-penjelasan hadis tersebut mutlak hanya menggunakan satu metode tersebut, akan tetapi beliau bisa juga menggunakan metode ijmali, yaitu beliau menjelaskannya secara global saja, hal ini berdasaarkan hadis yang di syarahinya yang tidak selalu membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, atau terkadang juga sudah di singgung dalam hadis-hadis yang sudah pernah ia jelaskannya di depan.
E.     Contoh Syarah Hadis
حَدَّثَنِي أَبُو خَيْثَمَةَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ كَهْمَسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ ح و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ وَهَذَا حَدِيثُهُ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ قَالَ كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ ثُمَّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مَطَرٍ الْوَرَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ قَالَ لَمَّا تَكَلَّمَ مَعْبَدٌ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فِي شَأْنِ الْقَدَرِ أَنْكَرْنَا ذَلِكَ قَالَ فَحَجَجْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَجَّةً وَسَاقُوا الْحَدِيثَ بِمَعْنَى حَدِيثِ كَهْمَسٍ وَإِسْنَادِهِ وَفِيهِ بَعْضُ زِيَادَةٍ وَنُقْصَانُ أَحْرُفٍ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ وَحُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَا لَقِينَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَذَكَرْنَا الْقَدَرَ وَمَا يَقُولُونَ فِيهِ فَاقْتَصَّ الْحَدِيثَ كَنَحْوِ حَدِيثِهِمْ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِيهِ شَيْءٌ مِنْ زِيَادَةٍ وَقَدْ نَقَصَ مِنْهُ شَيْئًا و حَدَّثَنِي حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ حَدِيثِهِمْ[14]
“Telah menceritakan kepadaku Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Waki' dari Kahmas dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya'mar. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz al-'Anbari dan ini haditsnya, telah menceritakan kepada kami Bapakku telah menceritakan kepada kami Kahmas dari Ibnu Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dia berkata, "Orang yang pertama kali membahas takdir di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani, maka aku dan Humaid bin Abdurrahman al-Himyari bertolak haji atau umrah, maka kami berkata, 'Seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka kami akan bertanya kepadanya tentang sesuatu yang mereka katakan berkaitan dengan takdir.' Maka Abdullah bin Umar diberikan taufik (oleh Allah) untuk kami, sedangkan dia masuk masjid. Lalu aku dan temanku menghadangnya. Salah seorang dari kami di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu aku mengira bahwa temanku akan mewakilkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya nampak di hadapan kami suatu kaum membaca al-Qur'an dan mencari ilmu lalu mengklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya adalah baru (tidak didahului oleh takdir dan ilmu Allah).' Maka Abdullah bin Umar menjawab, 'Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku. Dan demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir baik dan buruk.' Dia berkata, 'Kemudian dia mulai menceritakan hadits seraya berkata, 'Umar bin al-Khaththab berkata, 'Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam, kemudian ia berkata, 'Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam? ' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: "Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.' Dia berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.' Dia bertanya lagi, 'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk." Dia berkata, 'Kamu benar.' Dia bertanya, 'Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu? ' Beliau menjawab: "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir itu? ' Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab: "Apabila seorang budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan." Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?" Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda: "Itulah jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang pengetahuan agama kalian'." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al-Ghubari dan Abu Kamil al-Jahdari serta Ahmad bin Abdah mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Yazid dari Mathar al Warraq dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dia berkata, 'Ketika Ma'bad berkata dengan sesuatu yang dia bicarakan tentang masalah takdir, maka kami mengingkari hal tersebut.' Dia berkata lagi, 'Lalu aku melakukan haji bersama Humaid bin Abdurrahman al-Himyari.' Lalu mereka menyebutkan hadits dengan makna hadits Kahmas. Di dalamnya terdapat sebagian tambahan dan kekurangan huruf." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id al Qaththan telah menceritakan kepada kami Utsman bin Ghiyats telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dan Humaid bin Abdurrahman keduanya berkata, "Kami bertemu Abdullah bin Umar, lalu kami menyebutkan tentang takdir dan pendapat mereka tentangnya, lalu dia mengisahkan hadits tersebut sebagaimana hadits mereka dari Umar radlialllahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan di dalamnya terdapat suatu tambahan dan pengurangan." Dan telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin asy-Sya'ir telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami al-Mu'tamir dari Bapaknya dari Yahya bin Ya'mar dari Ibnu Umar dari Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan semisal hadits mereka."
Untuk penjelasan syarahnya hadis ini dapat di lihat dalam PDF pada hal 213-227, karena banyaknya penjelasan yang saya rasa hanya akan semakin memperbanyak halaman. (akan saya tunjukkan pada saat presentasi).

















KESIMPULAN
Kitab al-Minhaj Syarah Sahih Muslim ini ialah sebuah karya kitab yang agung yang di susun oleh Abu Zakariya Yahya al-Nawawi. Yakni seorang ulama yang hidup pada abad ke 7-8 H. Beliau di lahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di desa Nawa, sebuaah perkampungan di Hauran di Suriah. Oleh karena itu namanya di nisbatkan pada desa teserbut menjadi an Nawawi.
Salah satu dari sekian banyak kitab yang telah di buat oleh al-Nawawi ini tergolong kitab yang besar. Dalam penyusunannya dari segi isi kitab al-Nawawi Imam al-Nawawi tetap mengikuti Imam Muslim, yakni beliau memulainya dari bab Iman dan seterusnya sampai diakhiri dengan kitab tafsir. Kemudian dari sistematika kitabnya yang berjumlah 9 juz (yang dicetak Dar al-Hadis Kairo) pada juz yang pertama berisi muqodimah muhaqiq, Imam al-Nawawi dan muqodimah Imam Muslim, serta sedikit fasal dari kitab Iman, baru kemudian setelah itu menjelaskan sesuai dengan urutan hadis yang ada dalam kitab Sahih Muslim.
Kemudian dari sisi metode kitab tersebut al-Nawawi menggunakan metode tahlili, hal ini berdasarkan paparan yang di jelaskan oleh beliau dalam mensyarahi hadis-hadis, yakni dengan menyebutkan penjelasan tentang makna lafadz, nama personal yang memiliki kuniyah (nama panggilan), nama orang tuanya, nama-nam yang masih samar statusnya dan kondisi para periwayat yang belum begitu jelas. Kemudian beliau juga menyebutkan penjelasan tentang berbagai kandungan ilmu hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf (dua nama yang lafadznya sama namun cara pernonsasinya berbeda) dan cara mengkompromikan beberapa hadis yang redaksi luarnya terlihat bertentangan.
Kemudian dari sisi pribadi beliau kesimpulan yang dapat penulis ialah ambil rasa kagum dan termotifasi dengan perjuangan Imam al-Nawawi dalam bidang keilmuan. Hal ini dapat kita ambil hikamahnya untuk lebih menamabah semangat kita belajar dan terus belajar. Dengan kita membaca biografi para ulama khusnya imam al-Nawawi kita sudah bisa membaca pemikiran beliau, dengan membaca riwayat seorang tokoh kita akan mengetahui apa keahlian ulama tersebut. Kekaguman kepada Imam al-Nawawi bukan hanya muncul pada era setelah al-Nawawi, akan tetapi kekaguman  juga terjadi pada masa alNawawi masih hidup contoh pernyataan Imam al-Dzahabi yang memuji dan mengagumi tulisan Imam al-Nawawi yang mudah lengkap dan mudah difahami, termasuk para muridnya seperti Ibn Katsir, Ibn Aththar dll sangat mengagumi sosok sang guru yang alim dan lemah lembut pada siapapun.
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi, M. Ismail. Pengantar Ulumul Hadi, Bandung: Penerbit Angkasa,
Nawawi Yahya, Abu Zakariya. al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah, 2010
Uwaidah Muhamad, Kamil Dr. I’lam al- Fuqoha Wa al- Muhadisin, Bairut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1995
Khatib Ajaj, Muhamad Dr. Usul al- Hadis Ulumuhu Wa Mustolahuhu, Bairut: Dar al- Fikr, 2008
Nawawi Yahya, Abu Zakariya. Syarah Shahih Muslim, Kairo: Dar al-Hadis, 2005
Nawawi Yahya, Abu Zakariya. Syarah Shahih Muslim, pen; Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist



[1].  M. syuhudi Ismail, Pengantar Ulumul Hadis, (Bandung:Penerbit Angkasa), hlm. 75-78
[2] . Imam an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah, 2010) hlm, 3
[3] . Imam an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (t.tb, t.p) hlm, 2
[4] . Al- Syaih  Kamil Muhamad- Muhamad ‘Uwaidah, ‘Ilam al- Fuqoha Wa al- Muhadisin  (Bairut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah : ) hal….31
[5] . Imam an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (t.tb, t.p) hlm, 2
[6] . Al-Dzahabi mengatakan bahwa al-Tanukhi adalah salah satu ulama paling termuka dalam bidang ilmu hadis
[7] . Talaqqi adalah sistem kajian yang mana murid membaca dan guru mendengarkan/ menyimak, sedangkan sebagian ulama menamakan dengan ‘Ardu al- Qiroah.
[8].  Dalam sistem talaqqi para ulama memberikan setandar tersendiri. Imam Ahmad mengatakan, bahwa seorang Qori’ haruslah faham dan mengerti betul apa yang dibaca maupun dihafal, sedangkan Imam Al- Haraimain memberikan standar, kalau seorang Qari’  melakukan tahrif  maupun tasnif  maka harus ditolak.
[9] . Ijazah adalah metode yang digunakan dalam penyampain ilmu hadis dengan sighat Ajaztukum Riwayata kitabi al- Buyu’, metode ini bisa di ijazahkan satu kitab penuh, bab atau hadis yang di hafal seorang guru. Dr Ajaj Khatib, Usul al- Hadis Ulumuhu Wa Mustalahuhu, hal ….153-154
[10] . http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/imam-nawawi/
[11] . Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim  (Kairo: Dar al-Hadis, 2005) hal 3
[12] . Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim , pen; Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: Pustaka Azzam), hlm 20
[13] . Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim , pen; Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: Pustaka Azzam), hlm 20-21
[14] . Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Iman, bab: Penjelasan tentang Iman, Islam dan Ihsan, hadis no. 9. Lidwa Pusaka



{Karya Kelompok bersama Syech Misky Dkk}
 

Dia Kemana?



DIA KEMANA?
Sudah kesekian kali aku memanggil dia
tak ada respon sedikitpun dari dia
Semakin keras suara tuk memanggil
malah hati dia seakan makin keras pula
Kupanggil dia siang malam
telad dan tanpa hati ketika dia datang
Atau dia dah punya pengganti yang baik,
dia kemana?,sibuk?dia yang menulis ini.

,,,,,cobalah dia kupanggil lagi,
"Hayya 'ala Sholah, Hayya "ala Falah"
 

Ilmu, Agama dan Persentuhan Keduanya



Ilmu memiliki kedudukan mendasar pada manusia. Perkembangan dari suatu ilmu sangatlah terkait dengan manusia, bahwa ilmu selalu mengiringi kehidupan manusia baik yang bersifat material, immaterial, teknis, kemasyarakatan, maupun yang bersifat religious. Dari berbagai kebutuhan manusia, maka berkembanglah disiplin ilmu-ilmu, misalnya ilmu sosial, humaniora, bahkan ilmu agama. Yang masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Kekhasan ini dapat dilihat dari bagaimana cara kerja masing-masing ilmu tersebut.     
Melihat perkembangan disiplin keilmuan, baik ilmu alam, sosial humaniora, dan ilmu agama maka kita juga harus melihat bagaimana displin keilmuan tersebut saling berhubungan dan berkaitan. Dengan kaya dan luasnya disiplin keilmuan ini, maka perlu kita mengetahui bahwa dalam ketiganya itu memilki persamaan dan perbedaan yang saling mempengaruhi serta berkaitan (integrasi-interkoneksi). Oleh karena itu, dalam makalah sederhana yang telah coba kami susun ini akan membahas tentang hubungan dan keterkaitan antara ketiga disiplin ilmu tersebut.











Pandangan  Dasar
Ilmu itu memiliki kedudukan yang sangat mendasar dalam suatu kehidupan manusia. Apapun perilaku manusia selalu akan didasarkan dengan ilmu. Dengan adanya multikeragaman dan dinamika kebutuhan manusia, maka akan berkembanglah ilmu alam, social humaniora, dan ilmu agama.[1] Ilmu-ilmu alam seperti fisika, biologi, dll lahir untuk memenuhi kebutuhan fisik, material dari manusia terhadap alam ini. Sedangkan ilmu social humaniora seperti filsafat, sejarah, psikologi lahir untuk memenuhi kebutuhan dsar manusia yang bersifat non material, serta lebih bermuatan nilai baik dalam kepribadian maupun hubungan-hubungan social. Dan sementara ilmu-ilmu agama lebih dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral serta religious manusia.
Dari ketiga ilmu ini, memiliki kekhasan dalam ranah epistemology sendiri-sendiri. Adanya kekhasan ini telah tercermin dalam cara kerja masing-masing ilmu tersebut. Ketiga ilmu ini memiliki cara kerja masing-masing yang memiliki sisi perbedaan dan ketersinggungan diantaranya.
Dewasa ini, akan semakin disadari bahwa dalam memecahkan masalah tidak lagi dapat dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi yang dilihat dari factor sosiologis, religious, atau lainnya, melainkan dilihat dari berbagai sudut pandang.[2] Tidak dilihat dari segi pelakunya saja, tetapi dilihat dari lingkungan social, bahkan moral keagamaannya. Inilah yang menunjukkan bahwa suatu disiplin ilmu tidak bisa bekerja sendirian, sebaliknya membutuhkan bantuan-bantuan dari disiplin ilmu yang lainnya.
Ilmu mulai menjadi sorotan bagi para akademisi, yang gagasan ini mengarah pada gagasan integrasi dan interkoneksi anatara ilmu umum dan ilmu agama. Agama sangatlah arif dalam memperlakukan alam sebagai lingkungan tinggal manusia. Akibat meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam sehingga terjadi berbagai kerusakan. Dalam hal ini, akan mendorong pada gagasana baru integrasi dan interkoneksi.

·         Hubungan Persamaan dan Perbedaan
Gejala sosial adalah lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Jika ahli ilmu alam mempelajari suatu eksplosi kimiawi maka hanya beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Sebagaimana dengan ilmu social yang juga mempunyai hubungan dengan gejala fisik yang menjadi objek penelitiannya. Menurut Rescher dan Hesse bahwa ilmu alam, ilmu humanitis tidak memiliki perbedaaan. Metode ilmu alam, ilmu humanitis adalah satu kesatuan dan komprehensif. Sehingga, hubungan ilmu- ilmu ini adalah relativisme. Terdapat beberapa persoalan diantara hubungan ketiga ilmu ini, yakni sebagaimana pendapat Rescher, Hesse, dan Feyerabend,
Pertama, studi agama akan sama saja dengan studi ilmiah yang lainnya, tidak dapat disusun suatu frame work yang ideal, benar, dan konseptual. Mestinya frame work menyeluruh, metode, dan teori integrasi. Akan tetapi, itulah tidak bisa demikian, sebagaimana yang terjadi pada ilmu alam.[3]
Kedua, menurut Resche dan Hesse bahwa ilmu alam dan humaniora berhubungan secara kontinum, bukan secara dikotomis. Ilmu alam dan ilmu humanitis keduanya tidak terlepas dari metode hermeneutika. Akan tetapi ilmu humaniora tidak sangat mengarah pada pediksi dan control sebagaimana yang terjadi pada ilmu alam. Begitu juga dengan ilmu agama, agar lebih bersifat ilmiah yang mestinya cenderung pada watak ilmu alam, tetap harus berpegang bahwa objeknya bukanlah alam, tetapi manusia itu sendiri, prediksi dan kontrol. Ilmu sosial humaniora tidak mengarah pada prediksi dan control, dengan demikian studi agama tidak akan menjadi sains dalam arti sainsnya dalam ilmu alam. Ilmu alam faktanya dapat dibahasakan dengan pasti, maka ilmu humanity faktanya dapat dibahasakan secara metafora.
Ketiga, ilmu alam seharusnya dapat diletakkan diatas frame work yang laus sehingga meliputi unsur-unsur empiric hermeneutic, kritik dan etik,[4] maka ilmu agama cenderung membatasi diri. Dari awal pertumbuhannya pun sudah terlihat jika ilmu agama itu mencoba melepaskan dari ilmu-ilmu yang bersifat normative, baik filsafat maupun teologi.
Ilmu-ilmu social humaniora mengarahkan perhatian pada gejala realitas yang ada dalam masyarakat yang biasanya disebut kenyataan social. Sedangkan dalam ilmu agama, yang menjadi perhatian adalah pengaruh timbalbalik antara masyarakat dan agama, yang keduanya itu saling mempengaruhi. Sebagaimana ungkapan Mukti Ali bahwa agama mempengaruhi jalannya suatu masyarakat, begitupun dengan pertumbuhan masyarakat juga sangat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Max Weber dalam penelitiannya pada masyarakat Protestant di Eropa menemukan bahwa dalam usaha-usaha perekonomian yang sukses ternyata terdapat dorongan (motive) agama, dimana mereka mempunyai kewajiban memenuhi panggilan suci untuk bekerja hidup berhemat serta berhubungan secara kasih dalam bergaul dan melayani orang lain.
·         Ilmu, Agama dan Persentuhan Keduanya
            Pertama, mengenai agama. Agama mencakup banyak hal. Jika kita mau sistematis, dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sekadar sebagai satu contoh yang amat baik, Ninian Smart (2000) menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ada enam dimensi pandangan dunia: (1) dimensi doctrinal atau filosofis, (2) naratif atau mistis, (3) etis atau legal, (4) praktis atau ritual, (5) eksperiensial atau emosional, dan (6) dimensi social atau organisasional. Di sini bisa kita tanyakan: ketika kita berbicara tentang ilmu dan agama (khususnya integrasi keduanya), dimensi agama yang manakah yang menjadi pusat perhatian kita?
            Pertentangan Galileo dan gereja Katolik, misalnya yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi pertama dan kedua (dan sesungguhnya ada juga unsure politis yang cukup luat di situ). Selain itu, di situ ada pula persoalan pembacaan yang berbeda atas kitab suci, yang dalam uraian Smart bisa masuk ke dimensi pertama, kedua atau kelima. Belakangan ini, di kalangan Kristen dan Islam ada pula kecenderungan untuk mencari kesesuaian ayat-ayat tertentu dalam kitab suci dengan teori-teori ilmiah. Sementara itu, kritik kaum agamawan terhadap pemanfaatan sains (misalnya produksi bom atom dan nuklir; produksi teknologi pencemar lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri (misalnya penggunaan binatang untuk percobaan kimiawi atau biologis; atau manusia sebagai objek eksperimen medis dan psikologis) lebih menitikberatkan pada dimensi ketiga adalah pembicaraan tentang etika lingkungan, atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.
            Contoh-contoh ini adalah contoh-contoh adanya ketegangan, yang sekaligus menandai adanya titik-titik persentuhan, antara ilmu dan agama. Artinya, pada titik-titik persentuhan itu kita dapat berbicara juga mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya. Lalu, bagaimana pula dengan dimensi-dimensi agama lainnya? Bisakah atau perlukah ia diintegrasikan dengan ilmu?
            Bagaimana juga dengan pandangan mengenai ilmu? Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu pembagian yang sangat popular untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi tiga bidang bahasan: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour dan John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih cenderung melakukan integrasi pada tingkat ontologi (dan, dari sisi agama, pada dimensi pertama dan kedua dalam pembagian Smart). Sementara itu, melihat sub judul buku yang diterbitkan IAIN (“Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum”), lebih-lebih seminar yang mendahuluinya (“Reintegrasi Epistemologi Keilmuan”), jelas penekanan diberikan lebih pada epistemologi (Wahyudi, 2003). Meskipun ada pembahasan mengenai etika, porsinya tidak dominan.
            Cara lain menganalisis sains, dengan fokus lebih pada ilmu alam, dilakukan secara informal oleh filosof sains dari Princeton, Bas Van Fraassen (1996). Dia secara lebih sederhana melihat bahwa ada dua aspek ilmu alam, yaitu “isi” dan “metode”. Isi atau kandungan (content) adalah teori-teori ilmiah yang berbicara mengenai alam semesta; sedangkan metode adalah cara yang dipakai ilmuwan untuk menyusun teori-teori itu. Van Fraassen, yang menyebut pandangannya sebagai empirisme konstruktif, menganggap bahwa sains hanya berbicara tentang fenomena, bukan noumena (struktur ontologis dibalik fenomena). Selebihnya, sains adalah alat prediksi. Ketika sains dituntut untuk berbicara tentang struktur ontologism alam semesta (tentang “ada”, tentang apakah ada determinisme atau indeterminisme di alam, dan sebagainya), sains akan terjebak menjadi “saintisme”. Akhirnya “isme” digunakan jelas untuk menandai bahwa pada titik ini sains menjadi ideology, bukan lagi pencarian objektif. Lebih jauh, jika sains modern sebagai hasil peradaban modern, tampak begitu mengagumkan, itu bukan disebabkan oleh kebenaran “isi”-nya, yang dalam sejarah terus-menerus berubah sejalan dengan perkembangannya. Tetapi, itu karena metodenya, yang kritis, selalu terbuka, dan memiliki daya pengobjektif (objectifying). Inilah yang lebih penting ketimbang “isi” sains yang terus berubah-ubah.
            Karenanya, dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya agama mengasimilasi metode sains, khususnya dalam hal sikap kritis dan terbukanya, bukan mengonstruksi suatu teologi berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/ teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tidak menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema Smart, Van Fraassen tidak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama. Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.
            Lepas dari itu semua, contoh-contoh di atas telah cukup menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi) sangat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian besar sejauh ini adalah pada dimensi ontologi dan epistemology ilmu, atau dimensi filosofis dan naratif agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bisa dimunculkan.
            Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang subur untuk menumbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang belakangan, tampaknya bidang ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya memang perlu perhatian yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu dan agama.

·         Pergeseran Epistemologi Ilmu-ilmu Sosial
            Ilmu-ilmu  sosial yang menyoroti manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya muncul pada abad pencerahan di Eropa abad ke-18 yang dipelopori antara lain oleh filosof sosial Saint Simont(1760-1825),Comte(1798-1857)dan Spencer(1820-1903).Semangat yang dibawakannya adalah bahwa melalui pendekatan epistemologis yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam yang didasarkan kepada reason dan logika yang rasional dapat pula dimanfaatkan untuk mengetahui gejala-gejala sosial dengan melihatnya secara objektif,analitis dan kritis sepertijuga melihat kepada gejala-gejala alam lainnya.gejala-gejala sosial dalam kerangka konseptualnya lalu disungsun seperti menyungsun kerangka konseptual dalam gejal-gejala alam yang harus terpisah dari diri yang mengamatinya dan melihat gejala itu seperti apa adanya.
            Melalui pendekatan empirikal yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam tersebut,orang lalu diharapkan akan mampu menemukan hukum-hukum dan kaidah-kaidah sosial yang berlaku umum.Dengan cara-cara yang diterapkan sama seperti dalam ilmu-ilmu alam itu diharapkan orang akan bisa merekonstruksi gejala-gejala itu lalu memakainya untuk memperbaiki kondisi masyarakat kearah yang lebih baik seperti yang diinginkan.Hal ini juga harus mencari cara–cara yang dilakukan oleh agama atau gereja yang selama ini mengandalkan kepada pendekatan dan cara-cara tidak ilmiah dalam menjelaskan gejala-gejala alam maupun  dalalm memanipulasi kekuatan transendental metafisikal secara koersif untuk tujuan keagamaan dan kegerejaan.
            Secara epistemologis ilmu-ilmu sosial dalam tahap perkembangannya lebih berkiblat pada tradisi ilmu-ilmu alam dari pada humaniora,sedemikian,sehingga pendekatan-pendekatan kuantitatif dan bahkan matematik-statistikal dengan parameter-parameter yang terukur juga dipakaikan sebegitu jauh dalam mengamati objek sosial yang diteliti.Berangkat dari pendekatan positifisme yang sekaligus juga merupakan empirisisme   mereka memanfaatkannya untuk tujuan melakukan rekayasa-rekayasa sosial(social enggeneering) sama sepertihalnya teknik dan teknologi diterapkan dalam ilmu alam.
            Namun, perkembangan selanjutnya dari ilmu-ilmu sosial memperlihatkan adanya kecenderungan yang sebaliknya,yakni lebih mendekatkan diri kepada ilmu humaniora,tidak dapat terelakan.Halini disebabkan para ahli ilmu sosial sendiri akhirnya menyadari bahwa objek yang diteliti bukanlah benda organik maupun non organik yang dapat dihitung,diukur,ditimbang dan diotak atik sebagaimana dikehendaki si peneliti seperti dalam ilmu alam,tetapi bahwa objek yang diteliti adalah makluk manusia,disamping manusia merupakan bagian dari alam fisik juga memiliki keinginan dan nafsu,akal dan budi daya,perilaku dan keyakinan yang  begitu komplek dan hanya manisia yang memelikinya.
            Pengamatan yang berkeping-keping dari satu sorotan tertentu saja,yakni dari disiplin ilmu masing-masing ternyata tidak memperlihatkan hasil dengan gambaran utuh.Oleh karena itu disamping menyadari perlunya memenfaatkan pendekatan objektif ilmiah empirikal dari tradisi ilmu-ilmu alam,pendekatan integral dan intregatif dengan memasukkan unsur-unsur normatif yang biasa dilakukan oleh tradisi ilmu humaniora,juga mulai diterapkan.Sebagi akibatnya perubahan paradigmatik yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial sendiri pada perkembangannya selama dasawarsa belakngan ini telah menybabkan ilmu-ilmu sosial tersebut bukan saja lebih terintegrasi antara sesama ilmu sosial itu,tetapi juga dengan ilmu-ilmu humaniora,disamping ilmu-ilmu alam dari segi pendekatan epistmologinya ini menunjukkan bahwa proses kearah kesamaan pendekatan yang lebih integratif dari semua cabang ilmu makin terlihat,sehingga temuan dari satu cabang ilmu tana diulangi dapat pula diterapkan oleh cabang ilmu lainnya.
            Secara epistemologis,ini berati bahwa melalui pendekatan integral dan integratif ini bukan saja menyangkut perubahan para digmatik yanga harus dilakukan,tetapi juga membiasakan diri melakukan kerjasam yang bersifat multi dan interdisipliner.
·         Paradigma Ilmu Pengetahuan (Sosial) yang Integral
            Didalam ilmu-ilmu sosial ,perspektif pemikiran Islam tidak bersifat apriori,baik dalam artian menolak ataupun menerima persepsi imu yang telah berkembang selama ini di dunia Barat ataupun juga dunia Timur belakangan ini.Perspektif Islam sejak dulu adalah menyerap dan memilah-milah,dengan aksioma yang selalu sama dan tidak berubah,yaitu:yang baik diambil dan yang buruk dibuang.Dalam Islam tidak mengenal polaritas Timur maupun Barat karena Islam sendiri bukanlah Timur dan Barat.
            Perspektif pemikiran Islam ,bagaimanapun,penggunaan yang diterima oleh akal sihat tidak kurang ,dan tidak dikurangi sedikitpun ,sama seperti barat,selagi diergunakan secara sehat dan tujuan bersifat konstruktif itu.

KESIMPULAN
            Membahas mengenai integrsi-interkoneksi keilmuan antara ilmu-ilmu alam, sosial-humaniora dan keagamaan, tidaklah “cukup” hanya dituangkan dalam makalah sederhana yang telah kami susun ini. Karena pada dasarnya, jika kita berkeinginan untuk menggali dan memperdalam pemahaman kita tentang hakikat (substansi) suatu ilmu secara tuntas, maka sekiranya makalah sederhana yang kami susun ini hanyalah sebuah “pengetahuan” yang masih bersifat parsial (sebagian). Oleh karenanya, untuk memperoleh pengetahuan yang utuh tentang sustu disiplin ilmu baik itu ilmu alam, ilmu sosial-kemanusiaan dan ilmu agama, maka bukulah sebagai sumber tahu dan jendela berpengetahuan.
            Akan tetapi meskipun demikian, setidaknya dalam makalah sederhana yang telah kami susun ini tetap memberikan “sekelumit” sumbangsih bagi pembaca budiman untuk menambah wawasan hal-perihal berkaitan dengan integrasi-interkoneksi ilmu. Sejatinya, setiap disiplin ilmu mempunyai sisi-sisi keunikan masing-masing. Yang dari keunikan tersebut, entah dari nama disiplin ilmunya, sistem kerjanya, proses perkembangannya, semuanya layak untuk diperbincangkan. Karena sebagai manusia, untuk terus menjaga kelestarian peradaban manusia itu sendiri, sangat mustahil jika “tidak” ada campur tangan dari ilmu itu sendiri.
            Akhirnya, kesimpulan umum dari pemaparan makalah sederhana yang telah kami susun ini ialah bahwa sangat tepat dewasa ini diskursus tentang kedudukan ilmu dan kekhasan dari masing-masing ilmu mewarnai dunia “perkembangan” dari ilmu itu sendiri. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa diskursus “ilmu” pun bisa berkembang seiring zaman pun berganti bergulir dari masa ke masa. Sehingga, pada realitanya manusia seakan-akan dituntut untuk terus meng-up date pengetahuannya demi mencapai pemahaman pengetahuan yang utuh. Semoga apa yang telah kami usahakan dan sajikan dalam makalah sederhana ini bisa menjadi pemantik bagi pembaca budiman untuk lebih semangat menggali ilmu pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA
Ø  Amin Abdullah. Menyatukan Kembali Ilmu Agama dan Umum. (Yogyakarta: SUKA Press, 2003).
Ø  Muhammad Amin Abdullah. Metologi Islamic Studies. (Yogyakarta: Suka Press, 2007).
Ø  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. (Yogyakarta: 2005).
Ø  Zainal Abidin Bagir. Integrasi Ilmu dan Agama. (Bandung: Mizan, 2005).


                         




[1]  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta:2005), hlm.141.
[2]  Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, hlm. 140.
[3]  M. Amin Abdullah, Metologi Islamic Studies, (Yogyakarta:Suka Press, 2007), hlm. 34.
[4]  Metodologi Islamic Studies, Hlm.36
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. JOGJA MAWON - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger