Boros dalam Al-Qur'an




Pengertian

Secara etimologis, boros dalam bahasa Arabnya adalah israf atau tabdzir. Israf bentukan dari akar kata sarafa, yang artinya melalaikan, mengabaikan, tidak mengetahui, melewati / melalui, dan memakan daunnya (sarakat as-surfatu as-sajarah). Dapat pula diartikan melampaui batas ( jawadza al-had ). Jika disebut asrafa al-mal maka sama dengan badzarahu yang artinya memboroskan atau membuang-buang. Sedangkan pelakunya disebut musrifin. Sinonimnya adalah al-tabdzir, yang berasal dari akar kata badzara. Artinya al-habba yang berarti menabur ( benih ), menanam, menumbuhkan, tumbuh-tumbuhan, menyebarkan, memboroskan dan menghambur-hamburkan harta. Orang yang menghambur-hamburkan harta disebut al-mubadziru atau al-mubadzriku. Jika kata tabdzir dipergunakan dalam kalimat: badzara al-mal tabdziran ( menghambur-hamburkan harta ), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzratan.


Dalam al-Quran kata israf dan musrifin disebut sebanyak 23 kali dalam 21 ayat. Sedangkan al-tabdzir disebut dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 sebanyak 3 kali. Kata israf dan musrifin disebutkan dalam al-Quran dalam banyak arti. Al-Quran menyatakan kata musrifin dengan makna mu’ridin ‘an dzikrillah ( melalaikan dzikir kepada Allah, QS. Yunus [10] : 12 ), orang yang keburukannya melebihi kebaikannya ( QS. Al-Mukmin [40]: 43). Kata musrifin bisa pula diartikan mufsidin ( pembuat kerusakan, QS. Asy-Syuara [26] : 151-152 ).


Hanya saja kata israf lebih banyak bermakna infaq ( membelanjakan harta ) untuk perkara maksiyat. Dengan demikian, jika kata israf disebut bersamaan dengan kata infaq, maknanya adalah memberikan harta untuk tindakan maksiyat. Sedangkan al-tabdzir bermakna tunggal yaitu menghambur-hamburkan harta secara boros. Para ulama telah sepakat bahwa secara syar’i makna kata israf dan al-tabdzir adalah membelanjakan harta untuk perkara-perkara yang dilarang Allah. Israf dan tabdzir dalam pandangan Islam bermakna al-tabdzir-linfaq fil haram wal ma’asiy ( infaq / membelanjakan uang dalam hal yang haram dan maksiyat ).

Selain itu, al-Quran juga menggunakan istilah al ghuluw yang juga memiliki makna berlebihan atau ekstrim. Akan tetapi konteks yang dipakai di sini bukan dalam persoalan makan dan minum alias kebutuhan badani manusia, tetapi al ghuluw dimaksudkan untuk menunjukkan sifat ekstrim dalam menjalankan agama; wa laa taghluu fii diinikum. Sifat berlebihan bukan hanya dilarang untuk maksud pemenuhan kebutuhan badani, akan tetapi juga dalam menjalankan agama, al- Quran menyeru supaya umat Muhammad tidak menuruti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang ghuluw atau ekstrim dalam menjalankan agamanya. Bahkan dalam suatu hadits, perkara ekstrim dalam beragama ini disinggung oleh Rasul Saw, yakni tatkala Rasul Saw mengetahui salah satu sahabatnya yang bernama Utsman ibn Mazh’un telah berlebih-lebihan dalam beragama.

Suatu ketika istri Utsman ibn Mazh’un bertamu ke rumah para istri Nabi Saw. Melihat kondisi istri Utsman yang terlihat buruk, para istri Nabi bertanya apa yang terjadi dengannya, padahal suaminya adalah orang yang sangat kaya di kalangan Quraisy. Kemudian, istri Utsman menjawab; “Kami tidak mendapat apapun darinya. Sebab di malam hari ia beribadah dan siang harinya ia puasa, begitu sepanjang hari.” Kemudian hal ini sampai ke telinga Rasul Saw, dan beliau pun mendatangi Utsman. Rasul berkata; “Utsman, tidakkah pada diriku ini ada contoh bagimu?” Utsman menjawab; “Demi ayah dan ibuku kau benar wahai Rasul.”

Lalu Rasul Saw bertanya lagi; “Apa benar kau berpuasa setiap hari dan tidak tidur setiap malam?” Utsman menjawab; “Aku memang melakukannya.” Nabi pun bersabda; “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu juga begitu! Maka shalatlah lalu tidurlah, puasalah dan makanlah!”

Tatkala manusia cenderung ekstrim atau berlebihan; baik itu dalam nafsu badani (al israf) atau pun berlebihan dalam menjalankan agama (al ghuluw), keduanya diharamkan oleh agama. Jika sudah berlebihan sama saja kita menuruti hawa nafsu kita, sementara banyak sekali peringatan agama, baik dalam al Quran maupun sunnah Rasul untuk menjauhi hawa nafsu.


1. Ayat – Ayat Tentang Israf, Tabdzir Dan Ghuluw

ÏN#uäur #sŒ 4’n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# Ÿwur ö‘Éj‹t7è? #·ƒÉ‹ö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍ‘Éj‹t6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u‹¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø‹¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Y‘qàÿx. ÇËÐÈ

“dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.(Q.S. al-isra’ : 26-27)

ô‰s)s9ur $oYø‹¯gwU ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) z`ÏB É>#x‹yèø9$# ÈûüÎgßJø9$# ÇÌÉÈ `ÏB šcöqtãöÏù 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\ŠÏ9%tæ z`ÏiB tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ

(30). dan Sesungguhnya telah Kami selamatkan Bani Israil dari siksa yang menghinakan,(31)dari (azab) Fir'aun. Sesungguhnya Dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. ad-dukhon : 30-31)


tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç„ öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ

“dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.(Q.S. al-furqon : 67)


* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#rä‹è{ ö/ä3tGt^ƒÎ— y‰ZÏã Èe@ä. 7‰Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä† tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[1], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[2].Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(Q.S. al-a’raf : 31)


* uqèdur ü“Ï%©!$# r't±Sr& ;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uŽöxîur ;M»x©râ÷êtB Ÿ@÷‚¨Z9$#ur tíö‘¨“9$#ur $¸ÿÎ=tFøƒèC ¼ã&é#à2é& šcqçG÷ƒ¨“9$#ur šc$¨B”9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uŽöxîur 7mÎ7»t±tFãB 4 (#qè=à2 `ÏB ÿ¾Ín̍yJrO !#sŒÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym ( Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä† šúüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ

“dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.(Q.S. al-an’am : 141).


#sŒÎ)ur ¡§tB z`»|¡RM}$# •Ž‘Ø9$# $tR%tæyŠ ÿ¾ÏmÎ7/YyfÏ9 ÷rr& #´‰Ïã$s% ÷rr& $VJͬ!$s% $£Jn=sù $uZøÿt±x. çm÷Ztã ¼çn§ŽàÑ §tB br(Ÿ2 óO©9 !$oYããô‰tƒ 4’n<Î) 9hŽàÑ ¼çm¡¡¨B 4 y7Ï9ºx‹x. z`Îiƒã— tûüÏùÎŽô£ßJù=Ï9 $tB (#qçR%x. šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊËÈ

“dan apabila manusia ditimpa bahaya Dia berdoa kepada Kami dalam Keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, Dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah Dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan”.(Q.S. Yunus : 12)


Ÿw uQty_ $yJ¯Rr& ûÓÍ_tRqããô‰s? Ïmø‹s9Î) }§øŠs9 ¼çms9 ×ouqôãyŠ ’Îû $u‹÷R‘‰9$# Ÿwur ’Îû ÍotÅzFy$# ¨br&ur !$tR¨ŠttB ’n<Î) «!$# žcr&ur tûüÏùÎŽô£ßJø9$# öNèd Ü=»ysô¹r& Í‘$¨Z9$# ÇÍÌÈ

“ sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di akhirat[3]. dan Sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan Sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka Itulah penghuni neraka”.(Q.S. al-mu’min: 43)


ö@è% Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# Ÿw (#qè=øós? ’Îû öNà6ÏZƒÏŠ uŽöxî ÈdYysø9$# Ÿwur (#þqãèÎ6®Ks? uä!#uq÷dr& 7Qöqs% ô‰s% (#q=|Ê `ÏB ã@ö6s% (#q=|Êr&ur #ZŽÏVŸ2 (#q=|Êur `tã Ïä!#uqy™ È@‹Î6¡¡9$# ÇÐÐÈ

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(Q.S. Al-Ma’idah:77)


2. Perbedaan, Kontekstualisai dan Hukum

Dari ketiga sifat penyakit hati tersebut merupakan sebuah pola akhlaq yang tercela dan Al-Qur’an memberikan arahan keras untuk menghindarinya, bahkan didalam ayat-ayat lain terdapat kisah-kisah orang terdahulu yang mempunyai akhlaq tercela dan Allah telah mempunyai ketetapan atas perbuatan itu. Adapun ketika kita kaitkan dengan kekinian dengan dikontekstualisasikan masa sekarang maka akan menampakkan tindakan yang beraneka ragam bentuknya.

Israf berlebihan dengan menekankan menuruti nafsu sehingga rasa syukur terhadap karunia yang yang ada akan terkikis dengan adanya israf ini. Dalam kalangan kancah politik sekarang ini yang mendekati sifat isyaf adalah korupsi, karna kurupsi menampung-nampung harta dan berlebihan bahkan tidak mempedulikan dari mana ia mendapatkan.

Tabzir mirip dengan israf hanya saja penekanan dari tabzir ini ada hal yang terbuang dari kelebihan itu dan kelebihan yang terbuang itu hilang manfaatnya. Berlebihan disini adalah membelanjakan harta selain selain di jalan Allah. Contoh yang akan kita lihat adalah mengadakan pesta demokrasi yang berlebihan, ini adalah agenda tahunan dimana setiap partai pengusung bakal calon akan mengeluarkan dana yang sangat besar dan sangat fantastis angkanya. Padahal dana yang begitu besar jika dikeloa untuk kemasyarakatn akn lebih manfaat. Tiap tim sukses calon akan membagi dan menyebarkan harta dalam jumlah besar itu.

Ghullu dari dua sifat diatas mempunyai karakter yang beda berupa kelebihannya, kedua sifat diatas banyak berupa harta sedangkan hal ini ghulu kelebihan dalam menyikapi agama. Semalam sholat jahajud,siang berdo’a dimasjid seharian padahal ia mempunyai kewajiban yang lain yang seharusnya ia tunaikan baik itu keluarga atau lainnya.

Sifat israf,tabzir dan ghullu merupakan sifat dasar yang membawa kerusakan maupun kesejangan sosial dan Al-Qur’an melarang keras.


3. Penafsiran Ayat

Imam Qurthubi dalam tafsirnya menulis bahwa yang dimaksud israf adalah membelanjakan harta di jalan selain Allah, dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan kepada Allah Aza wa Jalla disebut kikir ( al-iqtar ), dan barang siapa yang membelanjakan harta dalam rangka ketaatan kepada Allah disebut al-qawam. Ibnu Abas berkata: “Barang siapa yang membelanjakan seratus ribu dirham dalam ketaatan bukanlah israf, sebaliknya barang siapa yang membelanjakan satu dirham dalam kemaksiatan adalah israf. Dan siapa yang mencegah dirinya dari membelanjakan hartanya maka ia kikir ( al-qatr )”. Senada dengan pendapat itu adalah pendapat Mujahid, Ibnu Zaid dan selain dari keduanya. Demikian pula pendapat Ibnu Mas’ud ra ketika menafsirkan surat al-Isra’ ayat 26-27. Qatadah mengatakan bahwa “menghambur-hamburkan harta adalah menginfakkannya dalam kemaksiatan kepada Allah”. Mujahid juga mengatakan “andaikan ada seorang laki-laki menafkahkan harta sebesar gunung ini dalam ketaatan kepada Allah, tidaklah ia tergolong pemboros. Jadi kalau dia menafkahkan satu dirham dalam kemaksiatan kepada Allah maka dia memang tergolong pemboros”. Dengan demikian, sedikit atau banyaknya harta yang dikeluarkan bukan menjadi ukuran penghamburan, melainkan dilihat dalam hal apa harta itu dibelanjakan.

Oleh sebab itu adanya pendapat yang mengharamkan orang-orang yang membelanjakan hartanya dalam jumlah yang besar pada aktivitas yang mubah karena termasuk dalam israf dan tabdzir adalah keliru. Kekeliruan pendapat semacam ini terjadi sehingga mengharamkan perkara-perkara yang sebenarnya dihalalkan disebabkan ketidakmampuan untuk membedakan antara makna bahasa dan makna syara’ terhadap kata israf dan tabdzir. Ayat-ayat yang menyatakan tentang israf dan tabdzir amat jelas. Semuanya memiliki arti membelanjakan harta untuk perbuatan (perkara) yang haram.

Penafsiran Ayat Tabdzir

وأما قوله( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ) فإنه يعني: إنّ المفرّقين أموالهم في معاصي الله المنفقيها في غير طاعته أولياء الشياطين، وكذلك تقول العرب لكلّ ملازم سنة قوم وتابع أثرهم: هو أخوهم( وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ) يقول: وكان الشيطان لنعمة ربه التي أنعمها عليه جحودا لا يشكره عليه، ولكنه يكفرها بترك طاعة الله، وركوبه معصيته، فكذلك إخوانه من بني آدم المبذّرون أموالهم في معاصي الله، لا يشكرون الله على نعمه عليهم، ولكنهم يخالفون أمره ويعصُونه، ويستنون فيما أنعم الله عليهم به من الأموال التي خوّلهموها عزّ وجل سنته من ترك الشكر عليها، وتلقِّيها بالكُفران. كالذي حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله(إِنَّ المُبَذّرِينَ): إن المنفقين في معاصي الله( كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا([4].


Dan berikanlah kepada kaum kerabat haknya, kepada orang miskin, dan kepada orang yang tengah dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros. Wa āti dzal qurbā haqqahū (dan berikanlah kepada kaum kerabat haknya). Ini adalah perintah agar menghubungkan tali silaturahmi dengan karib kerabat. Wal miskīna (kepada orang miskin). Ini adalah perintah agar berbuat baik kepada orang miskin. Wab nas sabīli (dan kepada orang yang tengah dalam perjalanan). Ini adalah perintah memuliakan tamu yang singgah, dengan memberikan hak mereka (menjamu mereka) selama tiga hari. Wa lā tubadz-dzir tabdzīrā (dan janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros), yakni janganlah menafkahkan hartamu bukan pada Hak Allah Ta‘ala, walaupun hanya seperenam dirham. Ada yang berpendapat, bukan dalam rangka taat kepada Allah Ta‘ala.


Sesungguhnya para pemboros adalah saudara-saudara setan, sedangkan setan sangat ingkar kepada Rabb-nya. Innal mubadz-dzirīna (sesungguhnya para pemboros), yakni orang-orang yang menafkahkan hartanya bukan pada Hak Allah Ta‘ala, walaupun hanya seperenam dirham. Kānū ikhwānasy syayāthīn (adalah saudara-saudara setan), yakni para pembela setan. Wa kānasy syaithānu li rabbihī kafūrā (sedangkan setan sangat ingkar kepada Rabb-nya), yakni kafir kepada Rabb-nya[5].

Penafsiran ayat Israf

Dan sungguh Kami telah Menyelamatkan Bani Israil dari azab yang menghinakan,

Wa laqad najjainā banī isrā-īla minal ‘adzābil muhīn (dan sungguh Kami telah Menyelamatkan Bani Israil dari azab yang menghinakan), yakni azab yang amat pedih dan dahsyat. Adalah Fir‘aun. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sombong, termasuk orang-orang yang melampaui batas. Miη fir‘aun (dari Fir‘aun) dan para pengikutnya yang menyembelih anak-anak lakik-laki, memperbudak kaum perempuan, dan azab lainnya.

Innahū kāna ‘āliyan (sesungguhnya dia adalah seorang yang sombong), yakni seorang pembangkang yang bertindak sewenang-wenang. Minal musrifīn (termasuk orang-orang yang melampaui batas) dalam kemusyrikan[6].

(Dan sesungguhnya telah Kami selamatkan Bani Israel dari siksa yang menghinakan) yakni dari pembunuhan Firaun terhadap anak-anak laki-laki mereka dan perbudakannya terhadap anak-anak perempuan mereka. (Dari siksaan Firaun) menurut suatu pendapat menjadi Badal dari lafal Al'Adzaabi yang ada pada ayat sebelumnya dengan memperkirakan adanya Mudhaf sebelumnya, yaitu lafal 'Adzaabi, lengkapnya Min 'Adzaabi Firaun, artinya: dari siksaan Firaun. Tetapi menurut pendapat lain ia menjadi Hal atau kata keterangan keadaan dari lafal Al 'Adzaabi (sesungguhnya dia adalah orang yang sombong lagi salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.)[7]


Wahai Bani Adam, pakailah perhiasan kalian setiap kali (memasuki) mesjid serta makan dan minumlah, dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak Menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.Yā banī ādama khudzū zīnatakum (wahai Bani Adam, pakailah perhiasan kalian), yakni pakailah pakaian kalian.‘Iηda kulli masjidin (setiap kali [memasuki] mesjid), yakni setiap kali shalat dan thawaf. Wa kulū (serta makanlah) daging dan lemak. Wasyrabū (dan minumlah) susu. Wa lā tusrifū (dan janganlah kalian berlebih-lebihan), yakni janganlah kalian mengharamkan rezeki yang baik, daging, dan lemak. Innahū lā yuhibbul musrifīn (sesungguhnya Allah tidak Menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan), yakni orang-orang yang melampaui batas dengan mengharamkan yang halal[8].

Penafsiran Ayat Ghullu


Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah berlebih-lebihan dalam agama kalian secara tidak benar. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah tersesat sebelumnya, dan mereka telah menyesatkan banyak (manusia), dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” Qul yā ahlal kitābi (katakanlah, “Hai ahli kitab) penduduk Najran. Lā taghlū fī dīnikum (janganlah berlebih-lebihan dalam agama kalian), yakni janganlah kalian mempersulit diri dalam beragama.

Ghairal haqqi (secara tidak benar), sebab hal itu bukanlah tindakan yang benar. Wa lā tattabi‘ū ahwā-a qaumin (dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang), yakni agama dan pendapat suatu kaum. Qad dlallū (yang telah tersesat) dari hidayah. Ming qablu (sebelumnya), yakni sebelum kalian. Mereka adalah para pemimpin yang berkuasa dan para pengikutnya. Wa adlallū katsīran (dan mereka telah menyesatkan banyak [manusia]) dari kebenaran dan hidayah.Wa dlallū ‘aη sawā-is sabīl (dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus”), yakni dari jalan hidayah yang lurus.

Sedangkan dalam tafsir Jalalain ditafsirkan. Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah berlebih-lebihan dalam agama kalian secara tidak benar. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah tersesat sebelumnya, dan mereka telah menyesatkan banyak (manusia), dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” Qul yā ahlal kitābi (katakanlah, “Hai ahli kitab) penduduk Najran. Lā taghlū fī dīnikum (janganlah berlebih-lebihan dalam agama kalian), yakni janganlah kalian mempersulit diri dalam beragama. Ghairal haqqi (secara tidak benar), sebab hal itu bukanlah tindakan yang benar. Wa lā tattabi‘ū ahwā-a qaumin (dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang), yakni agama dan pendapat suatu kaum. Qad dlallū (yang telah tersesat) dari hidayah. Ming qablu (sebelumnya), yakni sebelum kalian. Mereka adalah para pemimpin yang berkuasa dan para pengikutnya. Wa adlallū katsīran (dan mereka telah menyesatkan banyak [manusia]) dari kebenaran dan hidayah. Wa dlallū ‘aη sawā-is sabīl (dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus”), yakni dari jalan hidayah yang lurus.


[1] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

[2] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.

[3] Maksudnya: tidak dapat menolong baik di dunia maupun di akhirat.

[4] Tafsir ath-thabari : juz 17, bab 26, hal: 430

[5] Tafsir ibn ‘Abbas

[6] Tafsir ibn ‘Abbas

[7] Tafsir al-Jalalain

[8] Tafsir ibn ‘Abbas
Share this article :
 
Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. JOGJA MAWON - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger