Ilmu memiliki kedudukan mendasar pada manusia.
Perkembangan dari suatu ilmu sangatlah terkait dengan manusia, bahwa ilmu
selalu mengiringi kehidupan manusia baik yang bersifat material, immaterial,
teknis, kemasyarakatan, maupun yang bersifat religious. Dari berbagai
kebutuhan manusia, maka berkembanglah disiplin ilmu-ilmu, misalnya ilmu sosial,
humaniora, bahkan ilmu agama. Yang masing-masing disiplin ilmu tersebut
memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Kekhasan ini dapat dilihat dari bagaimana cara
kerja masing-masing ilmu tersebut.
Melihat perkembangan disiplin keilmuan, baik
ilmu alam, sosial humaniora, dan ilmu agama maka kita juga harus melihat
bagaimana displin keilmuan tersebut saling berhubungan dan berkaitan. Dengan
kaya dan luasnya disiplin keilmuan ini, maka perlu kita mengetahui bahwa dalam
ketiganya itu memilki persamaan dan perbedaan yang saling mempengaruhi serta
berkaitan (integrasi-interkoneksi). Oleh karena itu, dalam makalah sederhana
yang telah coba kami susun ini akan membahas tentang hubungan dan keterkaitan
antara ketiga disiplin ilmu tersebut.
Pandangan
Dasar
Ilmu itu memiliki kedudukan yang sangat mendasar dalam suatu
kehidupan manusia. Apapun perilaku manusia selalu akan didasarkan dengan ilmu.
Dengan adanya multikeragaman dan dinamika kebutuhan manusia, maka akan
berkembanglah ilmu alam, social humaniora, dan ilmu agama.[1]
Ilmu-ilmu alam seperti fisika, biologi, dll lahir untuk memenuhi kebutuhan
fisik, material dari manusia terhadap alam ini. Sedangkan ilmu social humaniora
seperti filsafat, sejarah, psikologi lahir untuk memenuhi kebutuhan dsar
manusia yang bersifat non material, serta lebih bermuatan nilai baik dalam
kepribadian maupun hubungan-hubungan social. Dan sementara ilmu-ilmu agama lebih
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral serta religious manusia.
Dari ketiga ilmu ini, memiliki kekhasan dalam ranah epistemology
sendiri-sendiri. Adanya kekhasan ini telah tercermin dalam cara kerja
masing-masing ilmu tersebut. Ketiga ilmu ini memiliki cara kerja masing-masing
yang memiliki sisi perbedaan dan ketersinggungan diantaranya.
Dewasa ini, akan semakin disadari bahwa dalam memecahkan masalah
tidak lagi dapat dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi yang dilihat dari
factor sosiologis, religious, atau lainnya, melainkan dilihat dari berbagai
sudut pandang.[2]
Tidak dilihat dari segi pelakunya saja, tetapi dilihat dari lingkungan social,
bahkan moral keagamaannya. Inilah yang menunjukkan bahwa suatu disiplin ilmu
tidak bisa bekerja sendirian, sebaliknya membutuhkan bantuan-bantuan dari
disiplin ilmu yang lainnya.
Ilmu mulai menjadi sorotan bagi para akademisi, yang gagasan ini
mengarah pada gagasan integrasi dan interkoneksi anatara ilmu umum dan ilmu
agama. Agama sangatlah arif dalam memperlakukan alam sebagai lingkungan tinggal
manusia. Akibat meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam
sehingga terjadi berbagai kerusakan. Dalam hal ini, akan mendorong pada
gagasana baru integrasi dan interkoneksi.
·
Hubungan
Persamaan dan Perbedaan
Gejala sosial adalah lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam.
Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat
fisik. Jika ahli ilmu alam mempelajari suatu eksplosi kimiawi maka hanya
beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Sebagaimana
dengan ilmu social yang juga mempunyai hubungan dengan gejala fisik yang
menjadi objek penelitiannya. Menurut Rescher dan Hesse bahwa ilmu alam, ilmu
humanitis tidak memiliki perbedaaan. Metode ilmu alam, ilmu humanitis adalah
satu kesatuan dan komprehensif. Sehingga, hubungan ilmu- ilmu ini adalah
relativisme. Terdapat beberapa persoalan diantara hubungan ketiga ilmu ini,
yakni sebagaimana pendapat Rescher, Hesse, dan Feyerabend,
Pertama, studi agama akan sama saja dengan studi ilmiah yang
lainnya, tidak dapat disusun suatu frame work yang ideal, benar, dan
konseptual. Mestinya frame work menyeluruh, metode, dan teori integrasi. Akan
tetapi, itulah tidak bisa demikian, sebagaimana yang terjadi pada ilmu alam.[3]
Kedua, menurut Resche dan Hesse bahwa ilmu alam dan humaniora berhubungan
secara kontinum, bukan secara dikotomis. Ilmu alam dan ilmu humanitis keduanya
tidak terlepas dari metode hermeneutika. Akan tetapi ilmu humaniora tidak
sangat mengarah pada pediksi dan control sebagaimana yang terjadi pada ilmu
alam. Begitu juga dengan ilmu agama, agar lebih bersifat ilmiah yang mestinya
cenderung pada watak ilmu alam, tetap harus berpegang bahwa objeknya bukanlah
alam, tetapi manusia itu sendiri, prediksi dan kontrol. Ilmu sosial humaniora
tidak mengarah pada prediksi dan control, dengan demikian studi agama tidak
akan menjadi sains dalam arti sainsnya dalam ilmu alam. Ilmu alam faktanya
dapat dibahasakan dengan pasti, maka ilmu humanity faktanya dapat dibahasakan
secara metafora.
Ketiga, ilmu alam seharusnya dapat diletakkan diatas frame work
yang laus sehingga meliputi unsur-unsur empiric hermeneutic, kritik dan etik,[4]
maka ilmu agama cenderung membatasi diri. Dari awal pertumbuhannya pun sudah
terlihat jika ilmu agama itu mencoba melepaskan dari ilmu-ilmu yang bersifat
normative, baik filsafat maupun teologi.
Ilmu-ilmu social humaniora mengarahkan perhatian pada gejala
realitas yang ada dalam masyarakat yang biasanya disebut kenyataan social.
Sedangkan dalam ilmu agama, yang menjadi perhatian adalah pengaruh timbalbalik
antara masyarakat dan agama, yang keduanya itu saling mempengaruhi. Sebagaimana
ungkapan Mukti Ali bahwa agama mempengaruhi jalannya suatu masyarakat,
begitupun dengan pertumbuhan masyarakat juga sangat mempengaruhi pemikiran
terhadap agama. Max Weber dalam penelitiannya pada masyarakat Protestant di
Eropa menemukan bahwa dalam usaha-usaha perekonomian yang sukses ternyata
terdapat dorongan (motive) agama, dimana mereka mempunyai kewajiban
memenuhi panggilan suci untuk bekerja hidup berhemat serta berhubungan secara kasih
dalam bergaul dan melayani orang lain.
·
Ilmu, Agama dan Persentuhan
Keduanya
Pertama, mengenai agama. Agama
mencakup banyak hal. Jika kita mau sistematis, dalam bidang kajian agama (religious
studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai
dimensi-dimensi agama. Sekadar sebagai satu contoh yang amat baik, Ninian Smart
(2000) menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi
agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ada enam dimensi pandangan
dunia: (1) dimensi doctrinal atau filosofis, (2) naratif atau mistis, (3) etis
atau legal, (4) praktis atau ritual, (5) eksperiensial atau emosional, dan (6)
dimensi social atau organisasional. Di sini bisa kita tanyakan: ketika kita
berbicara tentang ilmu dan agama (khususnya integrasi keduanya), dimensi agama
yang manakah yang menjadi pusat perhatian kita?
Pertentangan Galileo dan gereja
Katolik, misalnya yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada
dimensi pertama dan kedua (dan sesungguhnya ada juga unsure politis yang cukup
luat di situ). Selain itu, di situ ada pula persoalan pembacaan yang berbeda
atas kitab suci, yang dalam uraian Smart bisa masuk ke dimensi pertama,
kedua atau kelima. Belakangan ini, di kalangan Kristen dan Islam ada pula
kecenderungan untuk mencari kesesuaian ayat-ayat tertentu dalam kitab suci
dengan teori-teori ilmiah. Sementara itu, kritik kaum agamawan terhadap
pemanfaatan sains (misalnya produksi bom atom dan nuklir; produksi teknologi
pencemar lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri (misalnya penggunaan
binatang untuk percobaan kimiawi atau biologis; atau manusia sebagai objek
eksperimen medis dan psikologis) lebih menitikberatkan pada dimensi ketiga
adalah pembicaraan tentang etika lingkungan, atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.
Contoh-contoh ini adalah
contoh-contoh adanya ketegangan, yang sekaligus menandai adanya titik-titik
persentuhan, antara ilmu dan agama. Artinya, pada titik-titik persentuhan itu kita
dapat berbicara juga mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya. Lalu,
bagaimana pula dengan dimensi-dimensi agama lainnya? Bisakah atau perlukah ia
diintegrasikan dengan ilmu?
Bagaimana juga dengan pandangan
mengenai ilmu? Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu pembagian
yang sangat popular untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi tiga bidang
bahasan: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai
integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada
tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang
ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour dan
John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih cenderung
melakukan integrasi pada tingkat ontologi (dan, dari sisi agama, pada dimensi
pertama dan kedua dalam pembagian Smart). Sementara itu, melihat sub judul buku
yang diterbitkan IAIN (“Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum”),
lebih-lebih seminar yang mendahuluinya (“Reintegrasi Epistemologi Keilmuan”),
jelas penekanan diberikan lebih pada epistemologi (Wahyudi, 2003). Meskipun ada
pembahasan mengenai etika, porsinya tidak dominan.
Cara lain menganalisis sains, dengan
fokus lebih pada ilmu alam, dilakukan secara informal oleh filosof sains dari
Princeton, Bas Van Fraassen (1996). Dia secara lebih sederhana melihat bahwa
ada dua aspek ilmu alam, yaitu “isi” dan “metode”. Isi atau kandungan (content)
adalah teori-teori ilmiah yang berbicara mengenai alam semesta; sedangkan
metode adalah cara yang dipakai ilmuwan untuk menyusun teori-teori itu. Van
Fraassen, yang menyebut pandangannya sebagai empirisme konstruktif, menganggap
bahwa sains hanya berbicara tentang fenomena, bukan noumena (struktur ontologis
dibalik fenomena). Selebihnya, sains adalah alat prediksi. Ketika sains dituntut
untuk berbicara tentang struktur ontologism alam semesta (tentang “ada”,
tentang apakah ada determinisme atau indeterminisme di alam, dan sebagainya),
sains akan terjebak menjadi “saintisme”. Akhirnya “isme” digunakan jelas untuk
menandai bahwa pada titik ini sains menjadi ideology, bukan lagi pencarian
objektif. Lebih jauh, jika sains modern sebagai hasil peradaban modern, tampak
begitu mengagumkan, itu bukan disebabkan oleh kebenaran “isi”-nya, yang dalam
sejarah terus-menerus berubah sejalan dengan perkembangannya. Tetapi, itu
karena metodenya, yang kritis, selalu terbuka, dan memiliki daya pengobjektif (objectifying).
Inilah yang lebih penting ketimbang “isi” sains yang terus berubah-ubah.
Karenanya, dalam pandangan ini, jika
“integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya agama mengasimilasi
metode sains, khususnya dalam hal sikap kritis dan terbukanya, bukan
mengonstruksi suatu teologi berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/
teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang
secara umum memang tidak menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam
wilayah eksistensial manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain,
menggunakan skema Smart, Van Fraassen tidak terlalu percaya pada dua dimensi pertama
agama. Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi
Barbour mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.
Lepas dari itu semua, contoh-contoh
di atas telah cukup menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama
dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi) sangat dipengaruhi oleh bagaimana
tiap-tiap bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian besar sejauh ini adalah
pada dimensi ontologi dan epistemology ilmu, atau dimensi filosofis dan naratif
agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bisa
dimunculkan.
Selain itu, bisa juga disimpulkan
bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang subur untuk
menumbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang
belakangan, tampaknya bidang ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya
memang perlu perhatian yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu
dan agama.
·
Pergeseran Epistemologi Ilmu-ilmu
Sosial
Ilmu-ilmu sosial yang menyoroti manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya muncul pada abad pencerahan di Eropa abad ke-18 yang
dipelopori antara lain oleh filosof sosial Saint
Simont(1760-1825),Comte(1798-1857)dan Spencer(1820-1903).Semangat yang
dibawakannya adalah bahwa melalui pendekatan epistemologis yang dipakai dalam
ilmu-ilmu alam yang didasarkan kepada reason dan logika yang rasional
dapat pula dimanfaatkan untuk mengetahui gejala-gejala sosial dengan melihatnya
secara objektif,analitis dan kritis sepertijuga melihat kepada gejala-gejala
alam lainnya.gejala-gejala sosial dalam kerangka konseptualnya lalu disungsun
seperti menyungsun kerangka konseptual dalam gejal-gejala alam yang harus
terpisah dari diri yang mengamatinya dan melihat gejala itu seperti apa adanya.
Melalui
pendekatan empirikal yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam tersebut,orang lalu
diharapkan akan mampu menemukan hukum-hukum dan kaidah-kaidah sosial yang
berlaku umum.Dengan cara-cara yang diterapkan sama seperti dalam ilmu-ilmu alam
itu diharapkan orang akan bisa merekonstruksi gejala-gejala itu lalu memakainya
untuk memperbaiki kondisi masyarakat kearah yang lebih baik seperti yang
diinginkan.Hal ini juga harus mencari cara–cara yang dilakukan oleh agama atau
gereja yang selama ini mengandalkan kepada pendekatan dan cara-cara tidak
ilmiah dalam menjelaskan gejala-gejala alam maupun dalalm memanipulasi kekuatan transendental
metafisikal secara koersif untuk tujuan keagamaan dan kegerejaan.
Secara
epistemologis ilmu-ilmu sosial dalam tahap perkembangannya lebih berkiblat pada
tradisi ilmu-ilmu alam dari pada humaniora,sedemikian,sehingga
pendekatan-pendekatan kuantitatif dan bahkan matematik-statistikal dengan
parameter-parameter yang terukur juga dipakaikan sebegitu jauh dalam mengamati
objek sosial yang diteliti.Berangkat dari pendekatan positifisme yang sekaligus
juga merupakan empirisisme mereka
memanfaatkannya untuk tujuan melakukan rekayasa-rekayasa sosial(social
enggeneering) sama sepertihalnya teknik dan teknologi diterapkan dalam ilmu
alam.
Namun,
perkembangan selanjutnya dari ilmu-ilmu sosial memperlihatkan adanya
kecenderungan yang sebaliknya,yakni lebih mendekatkan diri kepada ilmu
humaniora,tidak dapat terelakan.Halini disebabkan para ahli ilmu sosial sendiri
akhirnya menyadari bahwa objek yang diteliti bukanlah benda organik maupun non
organik yang dapat dihitung,diukur,ditimbang dan diotak atik sebagaimana
dikehendaki si peneliti seperti dalam ilmu alam,tetapi bahwa objek yang
diteliti adalah makluk manusia,disamping manusia merupakan bagian dari alam fisik
juga memiliki keinginan dan nafsu,akal dan budi daya,perilaku dan keyakinan
yang begitu komplek dan hanya manisia
yang memelikinya.
Pengamatan
yang berkeping-keping dari satu sorotan tertentu saja,yakni dari disiplin ilmu
masing-masing ternyata tidak memperlihatkan hasil dengan gambaran utuh.Oleh
karena itu disamping menyadari perlunya memenfaatkan pendekatan objektif ilmiah
empirikal dari tradisi ilmu-ilmu alam,pendekatan integral dan intregatif dengan
memasukkan unsur-unsur normatif yang biasa dilakukan oleh tradisi ilmu
humaniora,juga mulai diterapkan.Sebagi akibatnya perubahan paradigmatik yang
berlaku dalam ilmu-ilmu sosial sendiri pada perkembangannya selama dasawarsa
belakngan ini telah menybabkan ilmu-ilmu sosial tersebut bukan saja lebih terintegrasi
antara sesama ilmu sosial itu,tetapi juga dengan ilmu-ilmu humaniora,disamping
ilmu-ilmu alam dari segi pendekatan epistmologinya ini menunjukkan bahwa proses
kearah kesamaan pendekatan yang lebih integratif dari semua cabang ilmu makin
terlihat,sehingga temuan dari satu cabang ilmu tana diulangi dapat pula
diterapkan oleh cabang ilmu lainnya.
Secara
epistemologis,ini berati bahwa melalui pendekatan integral dan integratif ini
bukan saja menyangkut perubahan para digmatik yanga harus dilakukan,tetapi juga
membiasakan diri melakukan kerjasam yang bersifat multi dan interdisipliner.
·
Paradigma Ilmu Pengetahuan (Sosial) yang Integral
Didalam
ilmu-ilmu sosial ,perspektif pemikiran Islam tidak bersifat apriori,baik dalam
artian menolak ataupun menerima persepsi imu yang telah berkembang selama ini
di dunia Barat ataupun juga dunia Timur belakangan ini.Perspektif Islam sejak
dulu adalah menyerap dan memilah-milah,dengan aksioma yang selalu sama dan
tidak berubah,yaitu:yang baik diambil dan yang buruk dibuang.Dalam Islam tidak
mengenal polaritas Timur maupun Barat karena Islam sendiri bukanlah Timur dan
Barat.
Perspektif
pemikiran Islam ,bagaimanapun,penggunaan yang diterima oleh akal sihat tidak
kurang ,dan tidak dikurangi sedikitpun ,sama seperti barat,selagi diergunakan
secara sehat dan tujuan bersifat konstruktif itu.
KESIMPULAN
Membahas mengenai
integrsi-interkoneksi keilmuan antara ilmu-ilmu alam, sosial-humaniora dan
keagamaan, tidaklah “cukup” hanya dituangkan dalam makalah sederhana yang telah
kami susun ini. Karena pada dasarnya, jika kita berkeinginan untuk menggali dan
memperdalam pemahaman kita tentang hakikat (substansi) suatu ilmu secara
tuntas, maka sekiranya makalah sederhana yang kami susun ini hanyalah sebuah
“pengetahuan” yang masih bersifat parsial (sebagian). Oleh karenanya,
untuk memperoleh pengetahuan yang utuh tentang sustu disiplin ilmu baik itu
ilmu alam, ilmu sosial-kemanusiaan dan ilmu agama, maka bukulah sebagai sumber
tahu dan jendela berpengetahuan.
Akan tetapi meskipun demikian,
setidaknya dalam makalah sederhana yang telah kami susun ini tetap memberikan
“sekelumit” sumbangsih bagi pembaca budiman untuk menambah wawasan hal-perihal
berkaitan dengan integrasi-interkoneksi ilmu. Sejatinya, setiap disiplin ilmu
mempunyai sisi-sisi keunikan masing-masing. Yang dari keunikan tersebut, entah
dari nama disiplin ilmunya, sistem kerjanya, proses perkembangannya, semuanya
layak untuk diperbincangkan. Karena sebagai manusia, untuk terus menjaga
kelestarian peradaban manusia itu sendiri, sangat mustahil jika “tidak” ada
campur tangan dari ilmu itu sendiri.
Akhirnya, kesimpulan umum dari
pemaparan makalah sederhana yang telah kami susun ini ialah bahwa sangat tepat
dewasa ini diskursus tentang kedudukan ilmu dan kekhasan dari masing-masing
ilmu mewarnai dunia “perkembangan” dari ilmu itu sendiri. Karena, tidak bisa
dipungkiri bahwa diskursus “ilmu” pun bisa berkembang seiring zaman pun
berganti bergulir dari masa ke masa. Sehingga, pada realitanya manusia seakan-akan
dituntut untuk terus meng-up date pengetahuannya demi mencapai pemahaman
pengetahuan yang utuh. Semoga apa yang telah kami usahakan dan sajikan dalam
makalah sederhana ini bisa menjadi pemantik bagi pembaca budiman untuk lebih
semangat menggali ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Amin Abdullah. Menyatukan Kembali Ilmu Agama dan Umum. (Yogyakarta: SUKA Press, 2003).
Ø Muhammad Amin Abdullah. Metologi
Islamic Studies. (Yogyakarta: Suka Press, 2007).
Ø Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
(Yogyakarta: 2005).
Ø Zainal Abidin Bagir. Integrasi
Ilmu dan Agama. (Bandung: Mizan, 2005).