Pada masa Rasulullah saw. sekitar abad satu hijriyah yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada masa ini Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan atau menyebarkan hadis-hadisnya. Dari hadis-hadis Rasulullah di atas dapat dipahami, bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan agar para sahabat menghafal dan menyebarkan hadis-hadis Rasul dan ayat-ayat al-Qur’an, singkatnya, menyebarkan ajaran Islam.[1]
Kajian
hadis sudah di mulai berbad-abad yang lalu, dari masa Sahabat, Tabi’in dan
ulama-ulama penerusnya, dengan berkembangnya zaman, maka kajian hadis
berkembang pesat dari mulai kodifikasi hadis (tadwin al-hadis) sampai ilmu-ilmu
baru seperti ma’aanil hadis dan berbagai macam studi kritis hadis. Diantara
perkembangan ilmu hadis yaitu pensyarahan hadis (Syarh al-Hadis) yang
dilakukan oleh mayoritas ulama abad-abad pertengahan, salah satunya adalah kitab
al-Minhaj atau yang lebih dikenal dengan Syarah Shahih Muslim karya
Abu Zakariya Yahya al-Nawawi (Imam Nawawi).
Syarah
hadis bertujuan untuk menjelaskan makna-makna yang diinginkan, baik secara
makna mufrodat (makna-makna yang gharib) maupun secara murod yang dinginkan
hadis- hadis tersebut, karena adanya sifat hadis yang kebanyakan secara makna
masih mujmal, walaupun fungsi hadis salah satunya sebagai penjelas al- Qur’an,
namun banyak makna- makna atau hadis-hadis yang secara lafdzi atau dzahir yang
terlihat bertentangan, oleh karena itu timbulah insiatif oleh para ulama untuk
menyusun kitab-kitab Syarah hadis sebagai pengurai kemuskilan hadis-hadis yang
telah dikodifikasikan oleh para ulama sebelumnya.
Oleh
karena itu, saya sebagai pemakalah akan mencoba membahas salah satu kitab
syarah tersebut, yaitu; Al- Minhaj Syarah Shahih Muslim karya
Imam Nawawi. Dan dengan ini, semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita
tentang kitab tersebut, baik tentang muallif (pengarang) maupun isi yang
terkandung didalam kitab tersebut, seomga makalah ini dapat bermanfat, walaupun
masih banyak kekurangan dan keselahan. Amin ya Rabi Rabbal al- ‘Alamin Wayaa
Mujib al- Saiilin.
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
1.
Kelahiran Abu Zakariya Yahya
al-Nawawi
Beliau
ialah Imam al Hafidz Syaihul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin
Murriy al Hizamy al Hawariby as-Syafi’i.[2]
Beliau di lahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di desa Nawa, sebuaah perkampungan di
Hauran di Suriah. Oleh karena itu namanya di nisbatkan pada desa teserbut
menjadi an Nawawi.[3]
Keluarga
al-Nawawi adalah tergolong keluarga yang cukup terpandang, dan termasuk orang
pertama yang bermukim di kota Nawa, kalau dikaitkan dengan para
leluhurnya. Kota Nawa tempat lahirnya sang imam merupakan pabrik ulama-ulama ahli
fiqh bermadzhab al- Syafi’i, dengan terkenalnya ulama-ulama fiqh produk kota
Nawa maka ada ungkapan yang mengatakan: Kota Nawa akan selalu menjadi buwah
bibir dan abadi namanya dilisan ribuan orang dengan ulama-ulama fiqh Madzhab
Syafi’i.[4]
Ketika
berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab
Fiqih pada sebagian ulama di sana. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama
bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan
menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain,
namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari
membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan
menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu.
Sang ayah setuju dengan nasehat ini.[5]
Pada tahun 649 H, al-Nawawi, dengan diantar oleh sang
ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar
al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding
masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah
haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
2.
Guru Dan Murid
Kehebatan
Imam Nawawi dalam berbagai bidang disiplin ilmu tak lain adalah buah
kecerdasan, ketekunan imam Nawawi. Akan tetapi tak kalah pentingnya adalah
peran kedua orang tua dan guru-guru al-Nawawi yang telah mendorong dan memupuk
jati diri Imam Nawawi sehingga menjadi ulama yang hebat, diantara guru-guru
Imam Nawawi adalah sebagai berikut:
Guru-
guru dalam bidang fiqh: Abu Ishaq al-Maghribi al-Maqdisi, Abu Muhamad Abdu
al-Rahaman ibn Nuh Ibn Muhamad Ibn Ibrahim Ibn Musa al-Maqdisi, Abu Hafsin Umar
ibn As’ad Ibn Abi Ghalib al-Irbili, Abu al- Hasan Salar Ibn Hasan al-Irbili
al-Halabi al-Damasqi, Ahmad Ibn Utsaman al-Maghribi al-Dimasqi.
Guru-guru
dalam bidang hadis: Zainudin Abu al-Baqa Khalid Ibn Yusuf Ibn Sa’ad, Rida Ibn
al-Burhan, Abd al-Aziz Ibn Muhamad Ibn Abd al-Muhsin al-Ansari al-Hamawi al-
Syafi’i, Zainudin Abu al-Abas Ibn Abd al-Daim al-Maqdisi, Abu al-Farj Abdu al-Rahaman
Ibn Abu Umar Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Qodamah al-Maqdisi, Qadi al-Qadzah ‘Ima
al-Din Abu Fadail Khatib Damasqi, Taqiyudin Abu Muhamad Isma’il Ibn Abi Ishaq
Ibrahim Ibn Abi al-Yasar al-Tanukhi[6], Jamal
al-Din Abu Zakariya Ibn Abi Fath al-Sairafi al-Harani.
Guru-guru
dalam bidang Nahwu dan Sorof: Ahmad Salim al-Misri (Islah al-Mantiq Karya Ibn
al-Sakit, Kitab membahas ilmu morfologi), Alfiyah Ibn Malik (Imam Malik al-Andalusi).
Kemudian Guru-guru Dalam Bidang Usul Fiqh ialah Al-Qadzi Abu al-Fath Umar Ibn Bandzar
Ibn Umar Ibn Ali Ibn Muhamad al-Taflisi al-Syafi’i.
Murid-murid
Imam Nawawi terbagi menjadi dua macam. Pertama, Murid dengan metode Talaqqi,[7]
para murid Nawawi yang mengunakan sistem talaqqi ini antaralain adalah: Sihab al-Din Abu Hafsin Umar Ibn Katsir (Ibn Katsir),
Sihab al-Din al-Irbadi, Samsu al-Din al-Baitar, Syeh Jibril al-Kurdi, Sihab
Muhamad Ibn Abdu al-Khaliq Ibn Usaman al-Ansari al- Dimasqi, Abu Abas Ahmad Ibn
Ibrahim Ibn Mus’ab, Muhamad Ibn Ibrahim Ibn Sa’dullah Ibn Jama’ah, Abdullah Ibn Muhamad Ibn Ali, Al-Qadi Diya’ al-Din Ali Ibn
Muslim, Abdu al-Rahim Ibn Muhammad Ibn Yusuf al-Samhudi al-Khatib al-Adib,
Al-Qadi Jamaludin sulaiman Ibn Umar Ibn Salim al-Zar’i, Al-Qadi Sadru al-Din
Sulaiman Ibn Hilal al-‘Askari.[8] Kedua,
Murid dengan metode Ijazah,[9]
Murid- murid dengan sistem Ijazah sebagai berikut: Abu Nu’im Ahmad Ibn al-Taqi, Al-Saif Abu Bakr
Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibrahim Ibn Haidar Ibn al-Qamah, Nasr al-Din Muhammad
Ibn Kasatahdi, Jamaludin Ibn al-‘Aththar.
3.
Pengalaman Intelektual Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau
sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas
ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus
terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusannya di Dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil Hingga
Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi al-Nawawi sehingga dia
merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika
membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’
dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat
beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab
‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula,
beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya,
Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai
wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang
muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat
membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan
tashhihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab
‘al-Muhadzdzab’ , ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’ , ke
lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya
Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’
karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam
ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang
ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab
‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke
duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari
setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan
ejaannya”.
Ketiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan
menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau
tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam
argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan- nya
di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga
saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu
digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.[10]
4.
Karya-Karya Abu Zakariya Yahya al-Nawawi
Selain
sebagai seorang mufti dan guru yang ulet, Imam al-Nawawi juga seorang ulama
yang cukup produktif dalam berbagai kajian bidang ilmu, dengan kegiatan menulis
yang begitu tekun samapai suatu hari Imam al-Nawawi tanganya merasa lelah.
Dalam bidang tulis menulis, karya Imam al-Nawawi dibagi menjadi tiga bagian:
Meringkas dan menyempurnakan, karya yang belum selesai tapi beliau wafat, karya
yang beliau hapus, dan diantara karya Imam al-Nawawi yang sampai kepada kita
sebagai berikut:
1.
Al-Minhaj Syarah Shahih muslim, kitab ini merupakan syarah dan berisi
tentang penjelasan tentang hadis- hadis didalam Shahih Muslim.
2.
Al-Irsad, kitab ini adalah ringkasan dari kitab Ulum al-Hadis karya
Ibn Al-Shalah, yang terkenal dengan muqodimah Ibn Shalah.
3.
Al- Taqrib Fi Usul al-Hadis, kitab ini adalah ringkasan dari kitab
al- Irsad mukhtasar Muqodimah Ibn al- Shalah, kemudian kitab kitab ini diberi
syarah oleh Imam Jalal al-Suyuti dengan nama, Tadrib al-Rawi.
4.
Tahdib al-Asma’ Wa al-Lughat, kitab ini membahas seputar bahasa yang berda didalam kitab fiqh al-Syafi’I, khususnya kitab Al-Tanbih dan
Al-Muhadzab karya al-Sairazi, Raudah al-Talibin, karya Al-Nawawi, Al-Wasit dan
Al-Wajiz karya, Abu Hamid al-Ghazali, Muhtasar al-Muzani, ringkasan kitab Al-Um
al-Sayfi’i. kitab tersebut berjumlah 4-5 jilid dan belum selesai Imam Nawawi
wafat, dan akahirnya diselesaikan muridnya Al-Hafidz al-Mizi.
5.
Al- Manasik al-Kubra al-Sughra, kitab ini mengupas lengkap masalah
haji, baik dari rukun, wajib sunahnya haji.
6.
Al- Tibyan fi Hamlah al-Qur’an, kitab ini membahas adab membaca,
hafalan memegang dll. Didalam kitab ini beliau juga banyak mencantumkan
riwayat-riwayat Shahih.
7.
Minhaj al-Talibin, kitab ini adalah ringkasan karya Imam al-Rafi’I
yang berjudul Al- Muharar , kitab ini belum selesai Imam Nawawi wafat.
8.
Raudah al-Talibin, kitab fiqh safi’i yang koperehensif, Imam Nawawi
sempat membuat ringkasan kitab tersebut, akan tetapi tidak selesai dikarenakan
beliau wafat terlebih dahulu.
9.
Al- Majmu’ Syarah al-Muhadzab, kitab ini adalah penjelasan dari
kitab Muhadzab karya al- Sairazi kitab yang koperehensif, Imam al-Hafidz Ibn Katsir
mengatakan bahwa kitab al-Majmu’ dituangkan dengan bahasa yang mudah, mengupas
permasalahan yang muskil, akan tetapi karya fenomenal ini tidak sampai selesai,
Imam Nawawi wafat.
10.
Riyad al-Shalihin, kitab ini memuat hadis-hadis seputar targhib dan
tahdzib yang diambil dari berbagai kitab hadis, khususnya Kutub al- Sitah.
11.
Hilyat al-Abrar Wa Sa’airu al- Akhyar fi Talkhis al- Da’wat Wa al-Adzkar,
kitab ini memuat doa-doa dan dzikir, yang dinukil dari hadis, kitab ini lebih
popular dengan Al-Adzkar al-Nawawi.
12.
Manaqib al-Syafi’I, kitab
ini adalah karya Imam Al-Baihaqi asalnya dua jilid, kemudian diringkas oleh
Imam al-Nawawi menjadi satu jilid.
13.
Al- Arba’un al-Nawawiyah, kitab yang memuat 40 hadis penting.
B.
Latar Belakang Penulisan Kitab
Sebelum
penulis membahas lebih lanjut tentang Syarah Shahih Muslim, Penulis akan lebih dahulu menjelaskan
sedikit alasan mengapa Imam al-Nawawi memberikan Syarah kepada karya Imam
Muslim. Beliau mengatakan didalam muqodimah Syarah Shahih Muslimnya, bahwa kitab yang paling baik di dalam
bidang hadis adalah Shahih Bukhari dan Muslim, bahkan tidak ada karya hadis
yang mampu menyaingi kedua kitab ini. Akan tetapi beliau lebih memilih Shahih
Muslim, dikarenakan
menurut beliau jika kitab Bukhari sudah banyak yang memberikan Syarah,
selain itu Nawawi mengatakan bahwa kitab ini adalah kitab yang Mutawasit (sedang) dan beliau
banyak meringkas penjelasan-penjelasan dari beberapa aspek keilmuan secara
ringkas dan jelas.
Imam
al-Nawawi dalam mengarang kitab ini juga dengan penuh pertimbangan. Beliau
ingin menjelaskannya secara ringkas, padat dan jelas, sehingga pejelasan
tersebut tidak sampai menjemukan bagi orang yang membacanya. Namun dalam
pembahasannya, imam al-Nawawi juga berusaha menjelaskannya secara jelas dan
rinci agar mudah untuk di fahami tentang apa yang di dalamnya serta apa yang
diharapkan. Bahkan iamam al-Nawawi juga mengatakan andaikan saya memanjangkan
pembahasan kitab tersebut pastilah akan berjumlah kurang lebih 100 jilid tanpa
pengulangan dan penjelasan yang tidak terlalu penting.[11]
C.
Isi Dan Sistematika Penyusunan Kitab
Dalam
pembahasan atau penulisan isi kitab hadis, Imam al-Nawawi mengikuti Imam
Muslim, yakni beliau memulainya dari bab Iman dan seterusnya sampai diakhiri dengan kitab tafsir,
dari semua kitab syarah shahih Muslim yang pernah penulis buka sistematika
isinya sama, Imam al-Nawawi menyebutkan hadis-hadis terlebih dahulu baru kemudian
memberikan penjelasan.
Sedangkan
dalam sistematika penyusunan kitabnya, Imam al-Nawawi pada juz yang pertama
berisi muqodimah muhaqiq, Imam al-Nawawi dan muqodimah Imam Muslim, serta
sedikit fasal dari kitab Iman, kitab ini yang dicetak Dar al-Hadis Kairo yang
berjumlah 9 juz. Sedangkan cetakan yang lain ada yang berjumlah 19 juz yang
dicetak oleh Dar al- Fikr Beirut Libanon, dan ada pula yang berjumlah 18 juz
yang ada dalam PDF yang saya punya.
Pada
muqodimah Syarih berisi berbagai hal tentang ilmu hadis, yang dibagi dalam
bentuk fasal, bab dan far’ dalam pembahasannya. Fasal- fasal tersebut membahas
banyak hal seputar ilmu hadis, diantaranya: Jalur sanad Imam Nawawi dalam
periwayatan Shahih Muslim, kitab-kitab yang mentakhrij hadis dari Shahih
Muslim, kemasyhuran kitab Sahih Muslim, perbedaan antara akhbaranaa dan haddatsanaa,
dll.
Kemudian
pada halaman selanjutnya sebelum bab al-Iman, Imam al-Nawawi menjelaskan muqodimah
yang disampaikan Imam Muslim, yang tecantum dalam sub besar yaitu: Bab Wajub
al-Tsiqat, pada bab ini menjelaskan nama-nama rawi baik kunyah laqob dll.
Kemudian baru setelah itu mulailah pembhasan pensyarahan hadis yang di mulai
dari kitab iman dan seterusnya hingga sampai kitab tafsir.
Cara
penjelasan yang di lakukan oleh imam al-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim
runtut dah mudah difahami, dikarenakan Imam Nawawi dalam menjelaskan
hadis-hadis yang tercantum dalam shahih Muslim dengan berbagai aspek keilmuan,
seperti riwayat dari kitab lain, ilmu bahasa, penjelasan nama yang mubham dan cabang
keilmuan yang lainya.
Sedangkan
dalam penukilan pendapat
para ulama, Imam al-Nawawi sering tidak mencantumkan kitab yang dinukil,
hanya mengatakan qola
Malik, qola Syafi’i. Akan tetapi hal ini tidak semuanya ada beberapa
kitab yang pendapatnya diambil dan dicantumkan seperti kitab Su’bu al-Iman,
al-Minhaj, Syarah al-Muhadzab. Hal ini dilakukannya berdasarkan jika
ucapan-ucapan yang dinukilnya tersebut sudah masyhur, maka beliau tidak lagi
menyebutkan dari mana beliau menukilnya, kecuali dalam beberapa hal yang dirasa
penting untuk menyebutkan sumbernya.[12]
D.
Metode Penyusunan Kitab
Dalam
sebuah karya tulis baik berupa kitab maupun buku pastilah mereka menyusunnya
dengan cara penyusunan dan dengan menggunakan metode, hal ini bisa saja di
lakukan dengan berbagai macam cara tergantung oleh sang penyusun tersebut.
Kaitannya dengan kitab ini yakni Al-Minhaj Syrah Sahih Muslim, al-Nawawi
juga menggunakannnya, walupun beliau tidak secara langsung menjelaskan metode
apa yang di gunakannya dalam menyusun kitab tersebut.
Dengan
analisis yang telah di lakukan oleh penulis, dengan cara mengamati bagaimana
al-Nawawi mensyarahi kitab tersebut, yang mana telah al-Nawawi sebutkan dalam
muqoddimahnya bahwa beliau dalam menjelaskan hadis-hadis tersebut akan melakukan berbagai hal,
diantaranya ialah; menyebutkan penjelasan tentang makna lafadz, nama personal yang memiliki kuniyah (nama
panggilan), nama orang tuanya, nama-nam yang masih samar statusnya dan
kondisi para periwayat
yang belum begitu jelas. Kemudian beliau juga menyebutkan penjelasan
tentang berbagai kandungan
ilmu hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan
nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf (dua nama yang lafadznya
sama namun cara pernonsasinya berbeda) dan cara mengkompromikan beberapa hadis
yang redaksi luarnya terlihat bertentangan, karena biasanya bagi orang-orang
yang tidak begitu teliti dalam bidang hadis, fikih dan ushul, akan mengira
bahwa hadis yang secara lahiriyah bertentangan benar-benar mengalami
kontradiksi.[13]
Dari
paparan al-Nawawi dalam muqoddimahnya tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa
al-Nawawi dalam menyusun kitabnya ini menggunakan metode tahlili, yakni beliau akan
menjelaskannya secara detail dan mendalam dari segi sanad dan matan hadis
tersebut. Walaupun demikian, tidak semua penjelasan-penjelasan hadis tersebut
mutlak hanya menggunakan satu metode tersebut, akan tetapi beliau bisa juga
menggunakan metode ijmali, yaitu beliau menjelaskannya
secara global saja, hal ini berdasaarkan hadis yang di syarahinya yang tidak
selalu membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, atau terkadang juga sudah di
singgung dalam hadis-hadis yang sudah pernah ia jelaskannya di depan.
E.
Contoh Syarah Hadis
حَدَّثَنِي أَبُو خَيْثَمَةَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
عَنْ كَهْمَسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ ح
و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ وَهَذَا حَدِيثُهُ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ
يَعْمَرَ قَالَ كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ
الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا
مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ
عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي
أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي
سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ
ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ
وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ
الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ
مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ
اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ ثُمَّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ
الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا
يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى
فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ
رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ
قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ
الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ
السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ
فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ
تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي
الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا
عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ
فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ
قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مَطَرٍ الْوَرَّاقِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ قَالَ لَمَّا تَكَلَّمَ
مَعْبَدٌ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فِي شَأْنِ الْقَدَرِ أَنْكَرْنَا ذَلِكَ قَالَ
فَحَجَجْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَجَّةً
وَسَاقُوا الْحَدِيثَ بِمَعْنَى حَدِيثِ كَهْمَسٍ وَإِسْنَادِهِ وَفِيهِ بَعْضُ
زِيَادَةٍ وَنُقْصَانُ أَحْرُفٍ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ وَحُمَيْدِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَا لَقِينَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَذَكَرْنَا
الْقَدَرَ وَمَا يَقُولُونَ فِيهِ فَاقْتَصَّ الْحَدِيثَ كَنَحْوِ حَدِيثِهِمْ
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَفِيهِ شَيْءٌ مِنْ زِيَادَةٍ وَقَدْ نَقَصَ مِنْهُ شَيْئًا و
حَدَّثَنِي حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ عَنْ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ
حَدِيثِهِمْ[14]
“Telah
menceritakan kepadaku Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada
kami Waki' dari Kahmas dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya'mar. (dalam
riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Mu'adz al-'Anbari dan ini haditsnya, telah menceritakan kepada kami Bapakku
telah menceritakan kepada kami Kahmas dari Ibnu Buraidah dari Yahya bin Ya'mar
dia berkata, "Orang yang pertama kali membahas takdir di Bashrah adalah
Ma'bad al-Juhani, maka aku dan Humaid bin Abdurrahman al-Himyari bertolak haji
atau umrah, maka kami berkata, 'Seandainya kami bertemu dengan salah seorang
sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka kami akan bertanya
kepadanya tentang sesuatu yang mereka katakan berkaitan dengan takdir.' Maka
Abdullah bin Umar diberikan taufik (oleh Allah) untuk kami, sedangkan dia masuk
masjid. Lalu aku dan temanku menghadangnya. Salah seorang dari kami di sebelah
kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu aku mengira bahwa temanku akan
mewakilkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman,
sesungguhnya nampak di hadapan kami suatu kaum membaca al-Qur'an dan mencari
ilmu lalu mengklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya adalah baru (tidak
didahului oleh takdir dan ilmu Allah).' Maka Abdullah bin Umar menjawab,
'Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka
bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku.
Dan demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya
salah seorang dari kalian menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya
sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir baik dan
buruk.' Dia berkata, 'Kemudian dia mulai menceritakan hadits seraya berkata,
'Umar bin al-Khaththab berkata, 'Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya
sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas
perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasalam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasalam, kemudian ia berkata, 'Wahai Muhammad, kabarkanlah
kepadaku tentang Islam? ' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam menjawab:
"Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian
kepadanya.' Dia berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget
terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.' Dia bertanya lagi,
'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir,
dan takdir baik dan buruk." Dia berkata, 'Kamu benar.' Dia bertanya,
'Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu? ' Beliau menjawab: "Kamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu." Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir
itu? ' Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui
daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu kabarkanlah kepadaku
tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab: "Apabila seorang budak melahirkan
(anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang,
miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun
bangunan." Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian
beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya
tersebut?" Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau
bersabda: "Itulah jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada
kalian tentang pengetahuan agama kalian'." Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ubaid al-Ghubari dan Abu Kamil al-Jahdari serta Ahmad bin Abdah
mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Yazid dari Mathar al
Warraq dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dia berkata, 'Ketika
Ma'bad berkata dengan sesuatu yang dia bicarakan tentang masalah takdir, maka
kami mengingkari hal tersebut.' Dia berkata lagi, 'Lalu aku melakukan haji
bersama Humaid bin Abdurrahman al-Himyari.' Lalu mereka menyebutkan hadits
dengan makna hadits Kahmas. Di dalamnya terdapat sebagian tambahan dan
kekurangan huruf." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id al Qaththan telah menceritakan
kepada kami Utsman bin Ghiyats telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Buraidah dari Yahya bin Ya'mar dan Humaid bin Abdurrahman keduanya berkata,
"Kami bertemu Abdullah bin Umar, lalu kami menyebutkan tentang takdir dan
pendapat mereka tentangnya, lalu dia mengisahkan hadits tersebut sebagaimana
hadits mereka dari Umar radlialllahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, dan di dalamnya terdapat suatu tambahan dan pengurangan." Dan
telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin asy-Sya'ir telah menceritakan kepada
kami Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami al-Mu'tamir dari Bapaknya
dari Yahya bin Ya'mar dari Ibnu Umar dari Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dengan semisal hadits mereka."
Untuk
penjelasan syarahnya hadis ini dapat di lihat dalam PDF pada hal 213-227,
karena banyaknya penjelasan yang saya rasa hanya akan semakin memperbanyak
halaman. (akan saya tunjukkan pada saat presentasi).
KESIMPULAN
Kitab
al-Minhaj Syarah Sahih Muslim ini ialah sebuah karya kitab yang agung
yang di susun oleh Abu Zakariya Yahya al-Nawawi. Yakni seorang ulama yang hidup
pada abad ke 7-8 H. Beliau di lahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di desa
Nawa, sebuaah perkampungan di Hauran di Suriah. Oleh karena itu namanya di
nisbatkan pada desa teserbut menjadi an Nawawi.
Salah
satu dari sekian banyak kitab yang telah di buat oleh al-Nawawi ini tergolong
kitab yang besar. Dalam penyusunannya dari segi isi kitab al-Nawawi Imam
al-Nawawi tetap mengikuti Imam Muslim, yakni beliau memulainya dari bab Iman
dan seterusnya sampai diakhiri dengan kitab tafsir. Kemudian dari sistematika
kitabnya yang berjumlah 9 juz (yang dicetak Dar al-Hadis Kairo) pada juz yang
pertama berisi muqodimah muhaqiq, Imam al-Nawawi dan muqodimah Imam Muslim,
serta sedikit fasal dari kitab Iman, baru kemudian setelah itu menjelaskan
sesuai dengan urutan hadis yang ada dalam kitab Sahih Muslim.
Kemudian
dari sisi metode kitab tersebut al-Nawawi menggunakan metode tahlili,
hal ini berdasarkan paparan yang di jelaskan oleh beliau dalam mensyarahi
hadis-hadis, yakni dengan menyebutkan penjelasan tentang makna lafadz, nama
personal yang memiliki kuniyah (nama panggilan), nama orang tuanya,
nama-nam yang masih samar statusnya dan kondisi para periwayat yang belum
begitu jelas. Kemudian beliau juga menyebutkan penjelasan tentang berbagai
kandungan ilmu hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan
nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf (dua nama yang lafadznya
sama namun cara pernonsasinya berbeda) dan cara mengkompromikan beberapa hadis
yang redaksi luarnya terlihat bertentangan.
Kemudian
dari sisi pribadi beliau kesimpulan yang dapat penulis ialah ambil rasa kagum
dan termotifasi dengan perjuangan Imam al-Nawawi dalam bidang keilmuan. Hal ini
dapat kita ambil hikamahnya untuk lebih menamabah semangat kita belajar dan
terus belajar. Dengan kita membaca biografi para ulama khusnya imam al-Nawawi
kita sudah bisa membaca pemikiran beliau, dengan membaca riwayat seorang tokoh
kita akan mengetahui apa keahlian ulama tersebut. Kekaguman kepada Imam al-Nawawi
bukan hanya muncul pada era setelah al-Nawawi, akan tetapi kekaguman juga terjadi pada masa alNawawi masih hidup
contoh pernyataan Imam al-Dzahabi yang memuji dan mengagumi tulisan Imam al-Nawawi
yang mudah lengkap dan mudah difahami, termasuk para muridnya seperti Ibn
Katsir, Ibn Aththar dll sangat mengagumi sosok sang guru yang alim dan lemah
lembut pada siapapun.
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi, M.
Ismail. Pengantar Ulumul Hadi, Bandung:
Penerbit Angkasa,
Nawawi Yahya,
Abu Zakariya. al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar, Lebanon:
Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah, 2010
Uwaidah
Muhamad, Kamil Dr. I’lam al- Fuqoha Wa al- Muhadisin, Bairut: Dar al-
Kutub al- Ilmiyah, 1995
Khatib Ajaj,
Muhamad Dr. Usul al- Hadis Ulumuhu Wa Mustolahuhu, Bairut: Dar al- Fikr,
2008
Nawawi Yahya,
Abu Zakariya. Syarah Shahih Muslim, Kairo: Dar al-Hadis, 2005
Nawawi Yahya,
Abu Zakariya. Syarah Shahih Muslim, pen; Wawan Djunaedi Soffandi,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2010
Lidwa Pusaka
i-Software - Kitab 9 Imam Hadist
[1]. M. syuhudi Ismail, Pengantar Ulumul Hadis, (Bandung:Penerbit Angkasa), hlm. 75-78
[2] . Imam
an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (Lebanon:
Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah, 2010) hlm, 3
[3] . Imam
an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (t.tb,
t.p) hlm, 2
[4] . Al-
Syaih Kamil Muhamad- Muhamad ‘Uwaidah, ‘Ilam
al- Fuqoha Wa al- Muhadisin (Bairut:
Dar al-Kutub al- Ilmiyah : ) hal….31
[5] . Imam
an-Nawawi, al adzkar al-Muntahabah min kalaami sayyidil abrar (t.tb,
t.p) hlm, 2
[6] . Al-Dzahabi
mengatakan bahwa al-Tanukhi adalah salah satu ulama paling termuka dalam bidang
ilmu hadis
[7] . Talaqqi
adalah sistem kajian yang mana murid membaca dan guru mendengarkan/ menyimak,
sedangkan sebagian ulama menamakan dengan ‘Ardu al- Qiroah.
[8]. Dalam sistem talaqqi para ulama
memberikan setandar tersendiri. Imam Ahmad mengatakan, bahwa seorang Qori’
haruslah faham dan mengerti betul apa yang dibaca maupun dihafal, sedangkan
Imam Al- Haraimain memberikan standar, kalau seorang Qari’ melakukan tahrif maupun tasnif maka harus ditolak.
[9] . Ijazah
adalah metode yang digunakan dalam penyampain ilmu hadis dengan sighat Ajaztukum
Riwayata kitabi al- Buyu’, metode ini bisa di ijazahkan satu
kitab penuh, bab atau hadis yang di hafal seorang guru. Dr Ajaj Khatib, Usul
al- Hadis Ulumuhu Wa Mustalahuhu, hal ….153-154
[10] .
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/imam-nawawi/
[11] . Abu Zakariya
Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (Kairo: Dar al-Hadis, 2005) hal 3
[12] . Abu Zakariya
Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim , pen; Wawan Djunaedi Soffandi,
(Jakarta: Pustaka Azzam), hlm 20
[13] . Abu Zakariya
Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim , pen; Wawan Djunaedi Soffandi,
(Jakarta: Pustaka Azzam), hlm 20-21
[14] . Imam Muslim,
Sahih Muslim, Kitab Iman, bab: Penjelasan tentang Iman, Islam dan Ihsan,
hadis no. 9. Lidwa Pusaka
{Karya Kelompok bersama Syech Misky Dkk}