Lahir pada bulan Juni 1954 disawang II kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan, Proinsi Aceh. Ia adalah dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Jenjang pendidikan akademik Program Sarjana Srata Satu di fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Jurusan Tafsir dan Hadits yang diselesaikan pada tahun 1980. Program Master diselesaikan pada tahun 1987 dan Program Doktornya diselesaikan pada tahun 1989 di Program Pasca Sarjana IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam bidang studi Ilmu Hadis. Atas rekomendasi dari Quraish Shihab, ia ditunjuk sebagai Dekan tetap di bidang Tafsir, Hadis, dan Ulumul Qur’an pada pogram Pascasarjana IAIN Ar-Raniry.
Beberapa Karir
akademik yang pernah ia duduki adalah Ketua Jurusan Tafsir dan Hadis, Pembantu
Dekan II Fakultas Ushuluddin sekaligus Asisten Direktur di bidang Akaedmik dan
Kemahasiswaan PPs IAIN Ar-Raniry, selanjutnya menjabat sebagai Direktur Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry selama dua periode. Pernah menjabat sebagi Dekan
Fakultas Ushuluddin Ar-Raniry selama dua periode juga. Dalam bidang
kemasyarakatan dan keagamaan, amanah yang pernah beliau peroleh adalah; Ketua
Majlis Tarjih Muhammadiyah Aceh selama dua periode, ketua komisi fatwa dan MUI
Aceh. Aktif sebagai salah seorang anggota aktif sebagai salah seorang anggota
Majlis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh, menjadi salah seorang tim ahli Bank
BPD Syari’ah Aceh.
Beliau produktif
dalam menghasilakan berbegai karya ilmiah khususnya dalam bentuk bidang tafsir,
hadis, fiqh, baik bentuk buku, artikel, rublik, makalah-makalah, baik untuk
dipublikasikan maupun untuk dipresentasikan dalam bentuk regional dan nasional
bahkan internasional, serta dimuat dalam surat kabar dan jurnal ilmiah seperti
Harian Umum Serambi Indonesia, Aceh Expres, Mimbar Hukum, Jurnal Ar-Raniry,
Media Syari’ah, Subtantia dan lain-lain. Yang menjadi catatan juga bahwa beliu dinilai
dapat menjadikan jurusan tafsir dan hadis menjadi favorit dan unggulan dalam IAIN
Ar-Raniry.
A.
Pemikiran Mengenai
Hadis
Prof.Dr.Daniel Juned berpendapat bahwa dalam
kajian ilmu hadis pada aspek pemahaman sangat terbatas. Secara umum masih
berkutat dalam aspek historis. Hal ini berarti bahwa persoalan hadis dianggap
sudah tuntas dengan endekatan krtitik sanad dan matan untuk mendapatkan
tingakatan shahih,tidak sahih atau memilah antara sahih dengan lebih sahih.
Ketika terdapat suatu hadis kemudian hadis tersebut terjadi sebuah paradoks
atau terlihat bertentangan maka jalan yang ditempuh langsung mentarjihnya,
lompatan kepada tarjih ini tampaknya disebabkan pemahaman bahwa puncak
penelitian hadis hanya terkait pada aspek sanad dan beberapa kritik matan.
Adapun yang mengenai pemahaman teks, kalaupun ada, hanya bersifat sekilas dan
dangkal tanpa memasukkan analisis tentang penyebab terjadinya berbagai bentuk
ke-musykil-an atau ikhtilaf hadis ataupun ikhtilaf fi fahmi
hadsi(teks tertentu dalam hadis), serta kaidah-kaidah yang sangat penting
seperti gharib, majaz, isti’arah, kinayah, al-jam’u, khas, ‘am, jawami’u ala
kalim, asbab al wuruj, tanawwu’fi al-ibadah, ‘amalu rawi, ‘amalu ash shabah,ta’wwul
al qur’an. Semua kaidah tersebut seharusnya sudah dilaksanakan sebelum jauh
melompat pada nasakh dan selanjutnya mentarjih.[1]
Sejumlah kasus khilafiah dalam masyarakat,
khususnya Indonesia, lebih disebabkan oleh minimya analisis filosofis terhadap
ilmu hadis dan hadis itu sendiri dalam sebuah kerangka keilmuan yang jelas dan
sistematis. Dilini lain, minimnya ilmu dan kekakuan tekstual dalam pemaknaan hadis,
gerakan yang berupaya memurnikan ajaran Islam, kadangkala tidak tepat dikatakan
“pemurnian” melainkan ia terjebak ke dalam “pengikisan” sebagian ajaran Islam
itu sendiri.[2]
Dalam dunia akademik, pada sebuah evaluasi
pembelajaran dalam kelas kuliah beliau juga menemukan mahasiswa belum bisa
membangun konsepsional apa yang dimangsud ilmu riwayah dan dirayah,
mengapa ilmu dirayah itu harus ada, kemudian hal ini dianalisa karena
adanya sistem pembelajaran mahasiwa dikelas kurang tepat, pertama kali masuk ke
dalam studi siswa langsung disuguhi pengertian hadis dan beberapa sejumlah
istilah lain yang semakna atau kadang yang dianggap sama, kemudian makna sanad
dan matan. Selanjutnya melompat kepada analisis kedudukan fungsi hadis atau
sunah yang pembahasanya tumpang tindih dengan usul fiqih. Kemudian
kembali pada ‘ulumul Hadis serta cabangnya, lalu secara terpisah pengenalan
ilmu riwayah dan dirayah,beserta istilah terkait.[3]
Adapun dalam buku yang ditulisnya yang
ditawarkan pertamakalinya adalah kerangka filosofis ilmu hadis. Dalam hal ini
membeginya dengan dua aspek, Pertama sejumlah ilmu hadis yang terkait segi
historis yang bersinggungan dengan sanad atau rijal hadis. Kedua adalah ilmu
hadis yang berkaitan dengan pemahaman teks atau matan yang memenuhi validitas
historisnya, atau ke maqbulan, shahih atau hasan.[4]
Ilmu hadis dalam demensi historis pokok
pembahasan keilmuan didekati dengan pendekatan kronologi historis sejak sumber
pertamanya, Rasulullah, hingga mengalir(dalam proses riwayat) dan menggenangi
waduk-waduk besar (kitab hadis) di abad kedua, ketiga, dan keempat. Tema-tema
pokok yang perlu diuraikan dalam analisa
historis ini adalah zaman Rasulullah dan zaman sahabat, kondisi sosio-politis
abad pertama, riwayat baru, riwayat hadis dan berbagai hal yang berhubunngan
dengan itu, intruksi pembukuan hadis awal abad dua, sistematis ilmu hadis dan
kristalisasi istilah-istilah teknis dalam analisis ilmu hadis. Dan berbagai hal
yang berkaitan krtik sanad dan kritik matan.[5]
Ilmu hadis dalam dimensi pemahan hadis atau
lebih sering disebut dengan fiqh Hadis oleh Prof.Dr.Daniel Juned ialah
kelanjutan setelah beberapa kritik sanad matan yang sudah dilakukan maka bisa
menginjak fiqh hadis.[6]
Setelah kerangka filosofis dirasa cukup maka
beliau membuka pembahasan tentang landasan epistemologi, baik didalamnya
tercakup ontologis. Setelah itu baru kemudian dilanjutkan kedudukan sunah.
Kemudian batasan makna hadis, baik itu dari kalangan dari ahli hadis maupun ahli ushul. Terakhir pengenalan kerangka umum
fiqh Hadis beserta kaidah pendukung.[7]
Tidak sebatas itu saja, Prof.Dr.Daniel Juned
juga menyoroti living hadis yang kekinian terjadi, setidaknya yang ditampilkan:[8]
1.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa gerakan kembali kepada Al Qur’an dan Hadis tanpa terekat dan
mazhab yang terjadi di mesir abab XX telah mempengarui dunia Islam lainnya,
termasuk juga Indonesia. Dalam pembaharuan menurut beliau Indonesia lebih maju
dari negara tetangga Malaysaia dan Brunei hanya saja sayang sekali semangat
pembaharuan kurang didukung oleh penguasaan ilmu alat pemahaman Al-Qur’an dan
kaidah-kaidah yang terkait dengan Fiqh hadis. Dalam hal berhungan Mustholah
sudah menggembirakan hanya saja berkaitan fiqh al Hadisnya sendiri secara umum
tidak berkembang. Sehingga semangat awal ijtihad bebas yang “diboyong”
pembaharuan di tanah air secara umum bergulir kepada taklid kepada kelompok
atau organisasi, tentu saja taklid gaya modern ini sangat meresahkan.
2.
Hal yang terjadi di
India ikut andil mewarnai Indonesia dan negara tetengga. Namun disayang oleh
Prof.Dr.Daniel Juned bahwa yang masuk bukan semangat pembaharuan sebagaimana
cetusan sebangsa ad Dihlawi, namun pengamalan sunah sangat tekstual, Darul
Arqam dan belakangan ini Jemaah Tabliq contohnya, dari semanagat keagamaan
memang kedua kelompok ini sangat menggembirakan akan tetapi dari segi pemahaman
hadis sangat menyediahkan, nayaris tidak bisa membedakan hadis shahih dan
dho’if. Disisi lain mereka terjebak pada aspek-aspek agama yang bersifat
marginal,seperti masalah jenggot, surban, makan senampan dan lainnya.
3.
Gerakan dari Mesir
lebih maju daripada dari India atau Pakistan jika ditilik dari sudut keilmuan.
Yang dari mesir bisa dikatakan pembaharuan keagamaan, khususnya dalam muamalah.
Sementara dalam bidang ibadah dirasa tidak jauh beda dengan Jema’ah Tabliq India
dan Pakistan.
4.
Gerakan Wahabih
tidak jauh pula, gerakan pemrnian ini minim ilmu alat, kaidah ilmu tafsir,ilmu
ushul fiqh, apalagi kalam dan filsafat hukum Islam serta imu modern lainnya.
Namun ada karakter yang berbeda dari Wahabiah yang manameskipun semangat
antimazhab, namun dalam banyak hal gerkan ini diwanai oleh pengaruh mazhab Ahmad
bin Hambal atau tepatnya Ibn Taimiyah seperti yang amati Nur Cholis Majid bahwa popularitas Ibn
Taimiyah secara umum hanya dipahami sebagai seorang mujaddin dan tokoh Hanabilah(pengikut
mazhab Ahmad bin Hambal).